Belajar untuk bertahan dari bencana

Hari senin (15/10/2018) lalu mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir dengan tema pola belajar masyarakat (social learning) dalam menghadapi bencana datang ke ruang kerja saya. Berdiskusi tema ini tentunya, dari definisi, pentingnya meneliti hingga kegunaannya untuk apa. Di awal pembicaraan saya bertanya: ‘apakah kamu bisa naik sepeda?’ respon cepat langsung dijawab: ‘bisa pak’. Kemudian dia menjelaskan awal mula berlatih sepeda dengan cara menambah roda bantuan di sepeda kecilnya waktu masih TK. Orang tuanya memasang dua roda bantu tepat di roda belakang, sehingga ada sebanyak 4 roda yaitu 1 roda depan dan 3 roda belakang, dimana di bagian belakang ada 1 roda utama di tambah 2 roda bantu sebagai tambahan. Meskipun belum bisa menyeimbangkan sepeda, tentu sepeda tetap akan bisa berdiri tegak, bahkan tanpa dinaikipun sepeda tetap akan berdiri. Itulah awal mula dia belajar naik sepeda. Sedikit berbeda dengan anak saya yang juga baru selesai belajar sepeda. Mungkin sekitar 5 bulan lalu belajar sepeda dan saat ini sudah dengan lihai mengayuh pedal sepedanya. Anak saya yang baru berumur 4 tahun ini belajar tanpa roda bantu, tetapi dia memanfaatkan jalan yang turun kemudian dia meluncur dari atas ke bawah tanpa mengayuh pedal. Kemudian secara otodidak dia mulai menginjak pedal dan pada akhirnya bisa mengayuh agar jarak luncuran sepedanya lebih jauh.
Seorang anak belajar naik sepeda. Sumber: https://pxhere.com/id/photo/1088522
Analogi belajar naik sepeda itu saya gunakan untuk menjelaskan mengenai awal mula adaptasi dengan cara belajar untuk membentuk pengetahuan. Dalam teori evolusi, makhluk hidup dengan lingkungannya memiliki hubungan sirkuler yaitu hubungan timbal balik saling mempengaruhi. Alam akan berpengaruh terhadap makhluk hidup yang menempatinya begitupula sebaliknya. Hubungan sirkuler ini yang menjadikan adaptasi terjadi. Perlu dipahami bahwa alam tidak pernah beradaptasi, mereka berubah sesuai dengan fungsi alamiahnya. Dan makhluk hiduplah yang beradaptasi. Hubungan yang terus-menerus antara manusia dengan alam, juga akan berpengaruh terhadap perilaku, pengetahuan dan pada akhirnya pola adaptasinya. Pak Otto Soemarwoto (1983) dalam bukunya yang sangat popular berjudul ekologi, lingkungan hidup dan pembangunan menjelaskannya dengan sangat lugas. Di bukunya, beliau menjelaskan bahwa kondisi lingkungan memiliki pengaruh jauh lebih besar dari pada sifat genetisnya. Beliau mencontohkan jika ada 2 anak yang dilahirkan kembar maka secara genetis akan memiliki kemiripan. Akan tetapi, jika 2 anak itu dipisahkan misalnya yang 1 dibesarkan di desa dan yang 1-nya dibesarkan di kota oleh keluarga yang berbeda maka mereka akan memiliki perilaku yang berbeda pula. Contoh inilah yang menjelaskan bahwa lingkungan hidup akan jauh lebih besar pengaruhnya dibandingkan genetis dalam membentuk perilaku dan sifat makhluk hidup.

Adaptasi! Perubahan yang terjadi baik di lingkungan tempat hidup maupun kondisi sosial masyarakat akan mendorong kita untuk belajar dan pada akhirnya beradaptasi. Mungkin kita bersama bisa mengingat bagaimana awal mula kita bisa makan sendiri tanpa disuapi oleh orang tua kita. Apakan dahulu kala di saat kita masih belajar makan, kita sudah lancar memainkan sendok dan garpu? Atau mungkin sudah lihai menggunakan pisau daging? Tentu tidak. Melihat anak saya yang belajar makan untuk pertama kali, dia memegang nasi seperti memegang bola dengan cara menelangkupkan jari dan telapak tangan, sehingga tangan menjadi kotor dan belepotan. Coba bandingkan dengan sekarang, saat kita makan dengan hanya menggunakan tangan, apakah juga demikian? Tentu tidak kita hanya memanfaatkan jari-jemari kita untuk mengambil nasi-lauk kemudian bisa kita masukkan dengan mudah ke mulut kita. Inilah learning itu yang terbangun dari bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan kita agar kita bisa berkembang dan pada akhirnya bertahan.

Apakah hanya itu? Tidak, tidak hanya itu. Manusia selain makhluk individu juga makhluk sosial bukan! Kita belajar dari kelompok atau komunitas kita. Seorang murid belajar dari gurunya itu juga dalam rangka hubungan sosial sebenarnya. Kita bisa belajar dengan banyak cara, baik secara formal seperti sekolah dan kursus maupun non-formal. Hubungan kekerabatan, sosial antar warga juga akan memberikan ‘pelajaran-pelajaran’ tertentu yang pada akhirnya bisa saling belajar. Dari mana anda tahu jikalau makan dengan menggunakan tangan kiri adalah sikap yang tidak sopan? Banyak jawabannya pastinya meskipun dapat diduga jawaban dominan adalah berasal dari keluarga kita masing-masing. Ini juga belajar. Sehingga belajar jangan hanya diartikan sempit yaitu disaat kita membaca buku, menghadiri kelas, maupun berseminar. Banyak sekali caranya!.
Ini hubungannya dengan pengelolaan bencana

Orang yang tinggal sangat lama hingga puluhan tahun di lingkungannya akan memiliki pengetahuan lokal akan lingkungan tempat tinggalnya. Mereka belajar bagaimana lingkungan berubah dan bagaimana mereka harus merespon. Perubahan lingkungan sebagai penanda bencana ini sering kita sebut sebagai geo-detektor atau bio-detektor yang berfungsi sebagai early warning system. Geo-detektor adalah isyarat atau sinyal yang diberikan oleh alam dan hanya bisa dipahami oleh masyarakat lokal. Sebagai contoh adanya ‘wedus gembel’ di gunung Merapi yang menandakan akan terjadinya erupsi gunung. Penanda alam ini biasanya juga digunakan sebagai penanda aktivitas sebagai contoh para petani di desa akan menam jagung di saat hari pertama air hujan jatuh ke bumi. Tidak tau alasannya, tetapi itulah kebiasaan yang terjadi di desa saya (minimal). Tidak berbeda dengan geo-detektor adalah bio-detektor. Perilaku aneh para hewan dan biota-biota yang ada di sekitar kita menjadi penanda akan terjadinya perubahan lingkungan dan bencana. Hiruk-pikuk dan paniknya ayam di kandang secara bersama-sama bisa menjadi penanda akan terjadinya bencana seperti badai atau mungkin topan. Penanda-penanda itu hanya akan bisa dipahami oleh masyarakat lokal yang setiap hari bersentuhan dengan lingkungan hidupnya.
Bukan hanya berasal dari interaksi manusia dengan alam tetapi juga hubungan antar manusia. Dari obrolan antar warga di pos kampling atau mungkin di warung soto terkadang itu menjadi forum belajar bersama. Mereka berbincang, berdiskusi, saling menyanggah dan pada materi tertentu saling bersepakat. Ini yang menjadikan orang-orang di sekitar kita guyub, rukun dan memiliki keeratan modal sosial yang tinggi. Pengetahun yang terbangun dari interaksi manusia dengan alam kemudian mereka share kepada rekan maupun tetangga-tetangga mereka menjadikan pengatahuan ini berkembang dan menyebar. Asa Bintang Kapiarsa (2018) meneliti pola pengetahun lokal ini kedalam command knowledge, shared knowledge dan specialized knowledge. Dimana pengetahuan itu berada? Apakah di ranah individu, di ranah umum tetapi hanya beberapa orang yang memiliki karakter sama atau justru sudah menjadi pengetahuan umum tanpa ada pembeda baik gender, pendidikan dan pembeda sosial lainnya.
Pengetahuan masyarakat terhadap suatu bencana akan meningkatkan kemampuan adaptasinya dan pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan masyarakat menghadapi bencana. Baca artikelnya Adger dan Vincent (2005) yang berjudul uncertainty in adaptive capacity bahwa adaptasi masyarakat itu dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, dan kondisi ekonomi. Masyarakat yang memiliki uang banyak dianggap lebih adaptif dan lebih tinggi kemampuan bertahannya, kenapa? Karena dia memiliki sumberdaya. Di saat dia tidak bisa membuat tanggul (misalnya) dengan sangat mudah bisa membayar seorang tukang untuk membuat tanggul guna melindungi rumahnya. Pengetahuan dan pengalaman menjadi modal yang sangat besar untuk membangun kapasitas adaptasi seseorang.