Masa depan tidak harus direncanakan

Selesai sarasehan bersama pengelola Desa Wisata Pentingsari, Yogyakarta malam ini (27/10/2018) dari jam 19.30 – 21.30 ada satu materi yang perlu saya catat di sini. Catatan ini tentu hanya untuk saya dan berharap bisa menjadi salah satu pertimbangan di dalam perencanaan. Di dalam disiplin ilmu kita, seorang planolog atau urban planner selalu menempatkan masa depan ke dalam suatu bayangan ataupun impian yang realistis dan rasional. Maksudnya adalah kita memiliki alasan-alasan yang masuk akal berdasarkan data dan informasi saat ini. Selalu mewujudkan tujuan ke dalam bentuk ‘produk’ tertentu. Bahkan sebuah konsep perencanaan juga harus menunjukkan ‘gambaran hasil’ yang jelas di masa depan. Sebagai contoh kita ingin merencanakan suatu kota yang sebelumnya hanya memiliki 1 pasar lokal kemudian kita bermimpi untuk mewujudkan kota perdagangan berskala kota dan sebagainya. Kita selalu berfikir bahwa perubahan menuju suatu tingkatan masa depan yang lebih maju itulah perencanaan. 

Salah satu atraksi wisata yang ditawarkan desa wisata (Foto oleh Ibu Maya Damayanti, PhD)
Ada tujuan dan target yang kita wujudkan dalam bentuk konsep-konsep dan gambaran masa depan yang benar-benar ‘riil’ atau ‘nyata’ meskipun masih dalam batasan konsep, peta rencana dan indikasi program pelaksanaan pekerjaan. Kita selalu membuat suatu tuduhan salah atas produk rencana yang tidak berwujud produk yang tergambarkan dan kemudian disepakati. 

Anggapan-anggapan itu terasa terbalik di kala kami mendengarkan penjelasan dari pengelola desa WIsata Pentingsari di saat ada salah satu mahasiswa bertanya mengenai apa rencana kedepan untuk mengembangkan Pentingsari? dan gebrakan apa saja yang benar-benar akan dilaksanakan di sini? Pertanyaan itu tidak secara langsung di jawab oleh pengurus desa wisata. Pengelola justru memberi informasi mengenai beberapa prestasi dari beberapa lomba yang pernah dimenangkannya. Bahkan ada salah satu lomba yang mereka menangkan yang diyakini itu bukanlah dari prestasi kampung wisata tetapi karena ‘giliran juara’ yang diberikan oleh salah satu penyelenggara lomba. Giliran juara di sini berarti bahwa juara yang diterima bukan karena nilai obyektif atas kondisi dan prestasi desa wisata namun lebih kepada agar semua desa wisata yang ikut lomba bisa merasakan semua menjadi lomba. Artinya jika tahun lalu suatu desa pernah menjadi juara, maka sangat mungkin dia tidak akan mendapatkan juara di tahun ini dan tahun selanjutnya. Pemenang lomba digilir dan terus dialihkan. Kembali ke pertanyaan mahasiswa! Ekspektasi saya atas jawaban pertanyaan itu adalah setidaknya pengelola desa akan memberikan jawaban yang futuristik seperti akan mewujudkan desa wisata bertaraf nasional atau mungkin justru bisa menjadi desa wisata bertaraf internasional. Seperti saat kita mendengarkan pidato para pejabat-pejabat negeri yang haus akan pujian, sehingga mereka selalu memamerkan prestasi-prestasi anak buahnya yang kemudian diakui sebagai prestasi lembaga.

Pengelola desa wisata menanggapinya dengan sederhana, yang intinya mereka tidak memiliki target. Jumlah para tamu yang datang akan dilayani dengan sebaik-baiknya pelayanan dan mereka sama sekali tidak menarget berapa jumlah tamu yang ingin mereka dapatkan. Saat ini selama 1 bulan mereka menerima rata-rata 2.500 bahkan pernah dalam 1 malam menerima tamu sebanyak 600 tamu. Artinya tanpa target yang mereka patokpun, jumlah tamu terus meningkat bahkan beberapa kali harus menolak tamu karena keterbatasan tenaga pengelola dan ketersediaan kamar di homestay. Coba kita bandingkan dengan beberapa target yang ingin dicapai oleh suatu lembaga pada umumnya. Selalu dan selalu ada target numerik termasuk target jumlah wisatawan domestik dan mancanegara yang saat ini menjadi ‘buku saku’ kementerian pariwisata. Mereka memaksa lembaganya untuk bisa memasukkan (target) 20 juta wisatawan berwisata di Indonesia. Saya rasa bukan hanya kementerian pariwisata, perguruan tinggipun kalau belum bisa mencapai world rank university atau mungkin belum menambahkan bertaraf internasional di dalam visi dan misi mereka dirasa belum memiliki target yang baik. 

Meskipun desa wisata ini tidak memiliki target pada jumlah tamu dan juga pada target pembangunan fisik tetapi mereka memiliki target di proses pengelolaan. Target atau tujuan mereka ternyata bukan di akhir yang kemudian membatasi waktu mengenai kapan target itu akan mereka capai, tetapi justru lebih fokus kepada proses, pembenahan setiap persoalan dan kekurangan yang mereka evaluasi sendiri. Ini titik perbedaannya yang saya catat. Menurut saya, ini sangat menarik. 

Semoga ini bukan pernyataan tendensius saya. Setidaknya saya memiliki informasi dan fakta yang cukup menarik dari desa wisata ajaib ini. Pertama adalah sharing laba, pengurus pokdarwis hanya sebesar 5% dari total pemasukan, sedangkan 95% diberikan kepada masyarakat baik berupa homestay, konsumsi dan lain-lain. Sedangkan pengelola hanya mengurus pendapatan sebesar 5% itupun sebenarnya juga akan kembali kemasyarakat berupa pembangunan fisik desa hingga pemberian parcel kepada seluruh warga setiap idul fitri. Setiap tahunnya mereka tidak kurang mengelola dana sebesar 3 Milliar dan angka itu terus naik bahkan diperkirakan terus merangkak lebih tinggi. Bukan proyeksi dan bukan prediksi ini sebenarnya. Inilah ajaibnya desa ini, jumlah tamu dari tahun ke tahun terus meningkat baik dari tamu-tamu lama yang kemudian kembali berkunjung hingga tamu-tamu baru. Ajaibnya lagi, setelah erupsi gunung merapi tahun 2010 ternyata kunjungan tamu justru naik.

Mereka lebih fokus kepada pelayanan. Bagaimana memberikan pelayanan kepada tamu, menyambut mereka, mengantarkan, hingga menyediakan sarana dan prasarana selama event. Setiap kegiatan sifatnya flexible bisa custom sesuai dengan keinginan dan preferensi tamu. Marketing ala kadarnya, tradisional dengan mengandalkan beredarnya kabar dari tamu ke tamu lainnya yang mereka sebut marketing ‘dari mulut ke mulut’ justru menjadi strategi marketing yang jitu bagi mereka. Berbeda dengan beberapa desa wisata ataupun pengelola wisata modern yang mengandalkan sosial media, iklan di tv hingga membuat flyer yang sangat unik dan apik. Benar-benar tidak memiliki target yang muluk-muluk, tujuan utopia yang terkadang tidak bisa diraih oleh mimpi sekalipun. Mereka lebih fokus pada proses yang mereka kerjakan, terus belajar secara otodidak dan terus membangun komunikasi antar warga.