Baru kali Ini, disaat membuka amplop berisi lembar jawaban ujian akhir semester mendapatkan bonus contekan. Saking jujurnya mahasiswa mungkin ya, disaat ujian mereka mencontek kemudian saat diminta mengumpulkan lembar jawab UAS sesegera mungkin dikumpulkan tidak tertinggal contekannya juga. Praktek cerdik yang tidak hilang oleh zaman ini terus saja terjadi dari membuat catatan di kertas super mini hingga tato temporary di bagian tubuh tertentu, bisa di telapak tangan atau di sela-sela jemari. Tidak sedikit juga yang memanfaatkan kain baju sebagai catatan ‘bantuan’ ini. Saya rasa praktek seperti ini hanya dilakukan oleh mereka yang individualis, hanya berusaha sendiri, menyediakan catatan sendiri dan menikmati sendiri. Di kala ketahuan juga akan dihukum sendirian. Ada juga yang memanfaatkan modal sosial dan kebersamaan yaitu melakukan kerjasama di kala ujian berlangsung. Biasanya sih bagi tugas sebelumnya sebagai contoh ada 4 materi yang akan diujikan kemudian ada 1 mahasiswa belajar materi 1 hingga 2 dan mahasiswa yang lain belajar materi 3 dan 4. Kemudian di saat ujian mereka bisa saling melengkapi. Sebagai contoh di kala ada soal ujian dari materi 1 dan 2 maka yang bertanggungjawab mengerjakan adalah mahasiswa pertama begitupula sebaliknya. Tanpa catatan kecil yang diselipkan di lengan baju. Mereka benar-benar siap ‘bertempur’ dengan materi belajar yang dibagi berdua, bertiga atau berempat.
![]() |
Jangan mencontek lagi, ini untuk kebaikan anda sendiri |
Tipe mencontek selanjutnya adalah tanpa modal, yaitu tidak belajar maupun membuat catatan sama sekal, dia bakal bertanya kepada teman yang dianggap bisa menjawab. Bermodal siulan tipis, atau mungkin colekan genit sebagai kode kalau dia butuh bantuan. Tipe ini sekarang yang mungkin menjalar. Tipe-tipe anak malas tanpa ada usaha sebelumnya. Biasanya mereka yang ada di kelompok ini adalah mereka yang tidak begitu aktif di kampus. Mereka lebih senang berkumpul dan bermain apapun di luar kampus.
Saya rasa ulasan mengenai praktek ‘cerdik’ ini sudah banyak, jadi tulisan ini sama sekali tidak akan membahas praktek tercelanya. Saya akan fokus pada praktek menggelikan selama ujian dan implikasinya di dunia kerja. Saya rasa tidak hanya di Indonesia, di luar negeripun pasti ada praktek ini, bahkan suatu perusahaanpun bisa melakukan hal serupa. Kita kenal istilah KW, imitasi dan sebagainya. Itu juga praktek contek-mencontek sebenarnya. Ingat betul sepuluh tahun lalu dikala sepeda motor Honda Supra cukup popular di Indonesia kemudian muncul ‘kembarannya’, memiliki desain sama persis hanya stiker dan durability-nya saja yang mungkin berbeda. Honda mengeluarkan Supra, kemudian ada perusahaan lain yang terinspirasi kemudian membuat produk serupa diberi nama Super. Di jalanan tidak terlihat perbedaan antara honda Supra dan Super ini. Namun dikala kita mencermati setiap detail desain motor maka kita akan sangat mudah membedakannya.
Apakah hanya itu? Saya rasa tidak berhenti hanya di ujian, kemudian produk-produk perusahaan tetapi lebih luas lagi, bahkan kebijakan. Kita tau ada rainbow village Taichung di Taiwan, kemudian menjalar menginspirasi dibangunnya kampung warna warni Jodipan Malang dan tentu tidak tertinggal adalah Kampung Pelangi Semarang. Media sosial yang memviralkan foto-foto yang benar-benar photogenic dan membuat penasaran menjadikan ide-ide itu menginspirasi dan pada akhirnya dicontek. Alhasil jadilah proyek dan kebijakan baru untuk membangun konsep yang serupa hasil dari ‘inspirasi’ tadi. Pada akhirnya adalah hilangnya kebaruan dan lokalitas.
Coba kita telisik lebih jauh lagi. Bagi anak-anak planologi pasti sangat familier dengan kata smart city, global city, sustainable development dan konsep bombastis lainnya. Konsep-konsep import yang terus menggaung di negeri tercinta. Seakan konsep-konsep ini datang bagaikan nabi memberikan solusi atas permasalahan lokal yang kemudian terkadang secara prematur diterapkan. Smart city atau online city sebenarnya? – hanya contoh. Mendesak dan memaksakan suatu konsep yang belum dikritisi atau dibahas oleh para ahli lokal. Pada akhirnya kita akan terus berlari untuk mempelajari setiap konsep-konsep baru hasil import ini. Tentu kita akan terus berada di belakang jikalau kita hanya akan membuka telapak tangan meminta bantuan baik bantuan pemikiran, konsep, skill dan yang lain. Lagi-lagi contek konsep sana, terapkan di sini. Masih mending jikalau ada kebaruan atau minimal ada modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi lokal masyarakat maupun alam kita.
Kembali ke praktek mencontek! Kreativitas akan tumpul, tidak akan ada pembeda antara 1 orang dengan orang lain. Semua dianggap sama kualitasnya. Jadi persoalan mencontek itu bukan hanya persoalan etika dan pada akhirnya bisa mendapatkan nilai tinggi seperti yang kita inginkan, tetapi akan mengurangi daya kreativitas kita sendiri sebenarnya.