Jangan hanya mengandalkan IPK tinggi, studio punya peran

Pagi ini mendapatkan pencerahan yang sangat berharga. Bukan hanya kali ini saja sebenarnya, jauh-jauh hari juga sudah mendapatkan pelajaran yang sama. Namun baru kali ini pelajaran itu benar-benar mendorong saya untuk menulisnya di sini.

IPK tinggi ternyata bukanlah jaminan mendapatkan pekerjaan atau mungkin juga beasiswa. Pertama mengenai pekerjaan. Beberapa kali alumni yang cukup mengenal saya meminta pertimbangan untuk rekrutmen tenaga individu non PNS atau sering juga disebut konsultan individu di instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Mereka menanyakan ‘karakter’ setiap pelamar yang kebetulan lulusan Undip.
Mungkin lebih dari 7 kali saya diminta pertimbangan ini oleh para rekruter yang kebetulan juga alumni Planologi Undip. Dan yang cukup membuat heran adalah cara mereka mensortir atau menyeleksi. IPK bukanlah indikator utama. Tadinya aku berfikir bahwa IPK tinggi pasti akan lolos sortiran pertama. Minimal para rekruter akan mensortir setiap pelamar dari nilai kuantitatifnya. Yang paling mungkin adalah IPK, itu menurut saya.
Ternyata dugaan saya tidak sepenuhnya benar, ada salahnya. Bahkan cukup besar kesalahan itu. Di kala ada syarat minimal IPK, contoh IPK minimal adalah 3,0 maka seluruh pelamar yang memiliki IPK 3,0 dan di atasnya dikelompokkan dalam satu grup. Tidak diranking lagi, cukup dikelompokkan saja. Setelah itu baru curriculum vitae berbicara. Pengalaman kerja (kalau ada) atau minimal pengalaman organisasi menjadi perhatian selanjutnya. Bahkan dalam beberapa kasus justru para pelamar dengan IPK cumlaude justru tidak berada pada posisi tertinggi menurut penilaian rekruter.
Setelah menyasar CV, mereka akan mulai meneliti transkrip nilai. Sekali lagi bukan untuk mengintip IPK tetapi melihat nilai setiap mata kuliah. Bagi anak Planologi, kenyataannya nilai Studio itu menjadi banchmark para rekruter. “Si Fulan IPK-nya tinggi tapi nilai Studionya kok B ya?” kurang lebih begitu pertanyaan para rekruter bertanya ke saya. Dari nilai studio itu barulah muncul diskusi lebih jauh mengenai karakter setiap individu.
Ternyata para rekruter menganggap bahwa studio itu mata kuliah yang komprehensif. Memuat seluruh kemampuan yang dibutuhkan, kurang lebih begitu. Memang di mata kuliah ini, mahasiswa dituntut untuk meninggalkan jauh-jauh buku-buku pelajaran. Tinggalkan jauh-jauh, dan mencoba mengaplikasikan seluruh pelajaran ke dalam praktek perencanaan. Mereka harus kritis ‘mengkawinkan’ teori dengan hasil survei lapangan. Itu dari sisi materi kuliah atau substansinya.
Di perkuliahan ini, mereka juga harus mempertanggungjawabkan ide-ide kritis mereka ke hadapan teman-temannya serta ke hadapan dosen pendamping. Diskusi, presentasi dan FGD bukan lagi untuk latihan, tetapi benar-benar diterapkan. Bahkan di bagian akhir kuliah mereka juga harus menyajikan hasil studionya bukan hanya dalam bentuk laporan tapi video dan terkadang website.
Coba kita hitung kemampuan apa saja yang harus dimiliki mereka. Mahasiswa super power saya rasa. Mereka harus bisa kritis terhadap teori, harus mampu survei, harus mampu presentasi, harus mampu membuat video dan harus mampu membuat website. Tidak jarang di akhir perkuliahan mereka harus ‘mempertanggungjawabkan hasil perbuatan’ mereka di hadapan para birokrat pemda. Contohnya mereka ambil studio di Kota Semarang maka mereka berkewajiban memaparkan hasil studio mereka ke para ASN di Kota Semarang, bisa di bappeda atau di DPU.
Studio juga syarat dengan kerja tim. Mahasiswa yang baperan, gampang ngambek dijamin tidak akan bisa bekerjasama dengan teman-temannya. Mahasiswa pintar dengan IPK tinggi tidak lagi menjadi jaminan dikala mereka tidak bisa bekerja sama dengan teman-teman se tim.

Itulah yang dipikirkan oleh para rekruter. Menjadikan studio sebagai salah satu banchmark kemampuan mahasiswa. Tidak salah memang, Aku sendiri selama kuliah di Planologi selalu menjadi koordinator kelompok di saat studio maupun kelompokan tugas-tugas lainnya. Persoalan tertinggi adalah bagaimana kita berkoordinasi, mengakomodasi seluruh masukan dan saran menjadi satu produk kreatif. Tidak jarang sang koordinator justru menjadi ‘lakon bandung bondowoso’ bekerja sendiri di bagian akhir sedangkan yang lain belajar menyiapkan UAS. Alhasil anggota tim mendapatkan nilai tinggi di mata kuliah yang lain dan sang koordinator mendapatkan nilai yang pas-pasan. Kenapa demikian? ya karena tidak belajar. hmmm… malah jadi curcol disini.

Masuk ke yang kedua. Rasanya bukan hanya untuk pekerjaan tetapi juga untuk beasiswa. Bukan studionya, tetapi IPK tinggi bukanlah satu-satunya ‘celengan emas’ yang perlu dibanggakan. BEBERAPA alumni yang mendapatkan beasiswa bergengsi dari lembaga internasional juga bukanlah mereka yang ber IPK tinggi. Bahkan ada yang jauh di bawah IPK 3,0 dan diterima di universitas lumayan di luar negeri.