Era digital saat ini harusnya mengubah proses perencanaan dan perancangan kota. Dunia digital telah memudahkan kita mengakses berbagai informasi termasuk data. Ditambah dukungan pemerintah Indonesia melalui keanggotaannya di dalam Open Government Partnership melalui diundangkannya Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2014 tentang penetapan keanggotaan Indonesia pada Open Government Partnership. Dampak positifnya adalah tentu kita akan semakin mudah mendapatkan data-data yang bersifat publik resmi dikeluarkan oleh pemerintah. Tidak hanya mendapatkan data, tetapi data-data itu juga dikumpulkan ke dalam 1 portal pangkalan data dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah di kota dan kabupaten.
Gratis, tidak perlu membayar, kecuali untuk data-data khusus. Dalam perencanaan dan desain perkotaan tentu berperan signifikan. Di kala kita membuat proposal teknis, dokumen pedoman perencanaan, tidak lagi hanya berisi gambaran umum dan instrumen survei tetapi harusnya sudah memberikan informasi mengenai issu dan permasalahan wilayah perencanaan. Problem-based planning yang sering diajarkan ke mahasiswa planologi semester 4 misalnya, tentu sudah sangat mudah mendefinisikan masalah dan potensi di wilayah perencanaan. Melalui kajian terhadap dokumen-dokumen data yang diberikan oleh portal pangkalan data, tentu dengan cukup mudah kita bisa menelisik persoalan lapangan, mensintesakannya menjadi isu dan mencari komoditas unggulan sebagai salah satu potensi lokal.
Open data!, ini era baru keterbukaan data saat ini. Salah satu dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat guna menganalisis, mengkritisi dan (jangan lupa) memberikan masukan berdasarkan data-data guna memberikan masukan rasional. Era baru, rational planning, dimana data menjadi ‘bahan baku’ utama memberikan policy analysis yang nantinya bisa diberikakan kepada policy maker berdasarkan akal sehat, rasional dan masuk akal. Bisa dianggap rasional dan masuk akal dikala masukan/ rekomendasi memang berdasarkan analisis.
Kembali ke mahasiswa Planologi! Di tahun 2003 – 2005, di kala saya harus menjadi salah satu koordinator ‘sapu jagad’ laporan akhir studio, data di kala itu sangatlah mahal. Benar-benar mahal, foto copy buku kabupaten/ kota dalam angka di BPS saja Rp. 300,- per lembar, dan kita harus memfotocopy berlembar-lembar ditambah series 5 tahun biasanya. Sangat mahal! Tidak jarang teman yang sedikit curang tapi cukup menyelamatkan adalah mencurinya, memasukkan ke dalam tas dan di bawa ke kos-kosan. Curang, tapi cukup menyelamatkan kondisi kantong yang terus menipis. Dan saat ini semua data-data mahal itu tersedia gratis, bebas download di internet. Resmi!.
Di masa saya menjalani studio, data kita perlukan untuk dianalisis kemudian kita sintesakan menjadi potensi dan masalah. Analisis data ini menjadi laporan tersendiri setelah survey yaitu di laporan fakta dan analisis. Dari potensi dan permasalahan inilah peroses perencanaan kemudian dilakukan, yang intinya adalah (1) solusi apa yang bisa diberikan untuk mengatasi masalah, dan (2) bagaimana kita akan mengubah kota/ wilayah yang kita rencanakan dalam kurun waktu 10 – 20 tahun ke depan. Proses proyeksi dan prediksi wilayah perencanaan kita lakukan berdasarkan data time series. Inilah alasan utama kenapa kita harus memfotocopy dokumen dalam kurun waktu 5 tahun ke belakang, untuk apa? untuk melihat trend data. Mahal!
Fungsi survei
Survei merupakan kebutuhan esensial di masa saya studio (2003 – 2005). Hanya dari survei kami bisa mendapatkan data-data yang diperlukan. Itupun tidak jarang kami harus mendapatkan data-data aneh, yaitu data yang tidak ‘nyambung’ atau data yang saling berbenturan. Sebagai contoh, saya pernah mendapatkan ada jumlah penduduk di suatu daerah yang dibagi berdasarkan kelompok umur berbeda dengan jumlah penduduk yang dibagi berdasarkan pendidikan. Jumlah penduduknya berbeda, kok bisa? itulah masa lalu. Di tambah dikala kita mendapatkan peta yang berasal dari instansi berbeda, disaat kita tampalkan di AutoCAD, koordinatnya melenceng jauh, tidak berada di satu koordinat yang sama.
Itulah masa lalu, survei adalah tahapan utama mencari dan mengkompilasi data. Saat ini bagaimana? tentu berbeda. Data sudah tersedia, hingga observasi lapanganpun bisa dilakukan secara digital. Jika ingin terlihat lebih live, anda bisa memanfaatkan VR (virtual reality) di HP yang kita tempelkan ke mata kita. Seakan-akan kita benar-benar berada di lokasi. Google street view bisa digunakan untuk melakukan observasi ini.
Hasil-hasil riset yang sudah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita juga dengan mudah kita akses, download dan analisis. Jangan sekali-kali di COPY-PASTE ya, itu tindakan plagiasi dan PASTI KETAHUAN. Banyak software-nya kok. Pakai saja google scholar, microsoft academic search atau yang lebih berbobot gunakan saja DOAJ.org dan Scopus.com. Masukkan kata kunci di bilah search dan run. Seluruh artikel terpublikasi online akan terjadi di halaman web browser anda. Mudah sekali.
Kemudahan-kemudahan mendapatkan data ini harusnya mengubah proses perencanaan konvensional. Di dalam proposal teknis harusnya sudah menyajikan informasi mengenai potensi dan permasalahan. Sebuah tahapan yang dulu saya lakukan setelah survey dan ada di laporan fakta & analisis. Setelah informasi potensi dan permasalahan tersaji di laporan proposal maka proses suvey hanya berfungsi sebagai langkah verifikasi data dan melengkapi data yang kurang. Preferensi masyarakat mengenai wilayah perencanaan serta preferensi mereka mengenai harapan terhadap kota mereka harusnya yang perlu digali di dalam proses survei. Datang ke rumah-rumah warga, minum kopi sambil wawancara santai saja sudah lebih dari cukup.