Kerjasama tim kunci kualitas studio

Studio, mata kuliah praktik perencanaan dan desain perkotaan mahasiswa Planologi, selalu memiliki cerita tersendiri di balik ‘riuhnya’ tugas dan kuliah. Mungkin sebagian mahasiswa menganggap mata kuliah ini sebagai monster yang cukup ditakuti, tugasnya banyak, deadline hampir tiap minggu, lembur dan menghabiskan uang saku cukup besar. Harus lembur bareng-bareng, ngeprint beratus-ratus lembar, itupun tidak cukup, harus menyiapkan peta ukuran besar hingga membuat video dokumentasi. Super sibuk, dan harus koordinasi. Tidak jarang ada pula mahasiswa yang free rider, ikut kumpul kelompok tetapi nggandul tidak tentu arah, pokoknya ikut saja dengan kontribusi ala kadarnya. Tidak bisa dipungkiri seluruh anggapan itu, memang demikian. Waktu saya menjadi mahasiswa juga mengalami hal serupa bahkan permasalahan utamanya terkadang bukanlah deadline dan substansi studio yang njlimet tetapi justru pada proses koordinasi antar anggota tim yang melelahkan.

Tugas besar – kelompok besar, sebenarnya balance. Tenaga banyak bersama-sama mengerjakan tugas kelompok yang super berat. Namun kenyataannya justru pada pembagian tugas yang cukup menyita emosi dan terkadang justru menjadikan tugas tidak efektif. Mereka yang ‘pintar menjelaskan’ meskipun bekerja sedikit sering dianggap yang paling berani ngomong dan pada akhirnya mendapatkan nilai apik. Tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Memang ada ‘tidak salahnya’ terutama di masa saya menjadi mahasiswa, mereka yang bermodal baju perlente dan presentasi yang mencampur bahasa Indonesia dengan Bahasa Enggrais sering tampil di depan, tentu nilai keaktifan tinggi dan pada akhirnya A.

Dari pengalaman saya, itu adalah bentuk intelektual semu. Terbukti kok di saat masuk semester pertengahan hingga akhir. Mereka yang bermodal speaking semata tidak bisa survive disaat sudah membahas kajian-kajian detail. Bahkan dulu (2003-2004) ada teman dengan gaya boss mendapatkan tugas membuat poster kelompok. Dikerjakan sih tetapi dibuatnya di Microsoft Word ukuran A4 dan berisi foto besar di tengah kemudian dikelilingi foto-foto kecil di sekelilingnya, diberi garis dan panah tanpa desain sama sekali. Jelek, jelek sekali desainnya seperti prakarya anak SMP dan bukan seperti anak Planologi yang pernah mendapatkan matakuliah teknik komunikasi.

Saya melihat dari sepuluh anggota kelompok, mungkin hanya 3 – 4 otang yang benar-benar menjadi motor penggerak tim. Benar-benar berfikir, menyusun konsep, mengedit laporan dan mengeprintnya. Yang lain bagaimana? – ya begitulah, pelengkap keramaian tanpa hasil berarti. Menjadi super sibuk dan super kritis dikala mau ujian akhir semester. Copy file studio, bertanya detail setiap sub bab dan menghafal setiap penjelasan dari koordinator dan konseptor. Ya.. begitulah kurang lebih.

Meski demikian, kerja tim kecil (meskipun tidak absolut 100%) tetap saja akan berarti dan akan menghasilkan produk. Solidaritas tim kecil (dari tim besar) akan mewarnai kinerja tim, dan pada akhirnya adalah kualitas laporan. Saya juga demikian di saat menjadi mahasiswa. Selalu saja menjadi koordinator, bertugas mengumpulkan anggota tim, memimpin jalannya diskusi dan dikala deadlock, ya mengkonsep dan membagi tugas dan sering juga mengerjakan sendiri di rentalan. Tidak jarang mereka yang mendapatkan tugas dikerjakan sekenanya bahkan suatu waktu, di saat sudah mendekati deadline, saya menagih bagian tugas dari seorang teman. Apa yang saya dapatkan? – sebuah amplop berisi disket (waktu itu belum ada flashdisk) dan surat yang berisi permohonan maaf tidak bisa mengerjakan bagian tugas. Deadline hanya kurang beberapa jam, tugas belum dikerjakan, belum diketik dan tentu belum di print apalagi dijilid. Alhasil saya harus keluar-masuk rental komputer, membuat laporan dan tetap menulis namanya di cover laporan. Rugi..rugi banget rasanya waktu itu.

Kejadian seperti itu berlangsung hingga semester-semester akhir. Tepat di semester 6 dikala tugas kuliah sudah mulai individu, mereka yang bekerja dengan ‘hanya mengandalkan verbal’, mulai ketahuan belangnya. Mulai keteteran, meski tetap bisa survive. Memilih tema Tugas Akhir juga bukan dari hasil membaca buku text apalagi jurnal tapi cukup membaca tugas akhir kakak kelas, utak-atik sedikit metode, tema dan lokasi riset dan jadilah proposal TA. Tidak ada inovasi sama sekali.

Kembali ke studio! Kerja tim tidak bisa ditawar, memang harus team work meskipun hanya sekian persen dari seluruh jumlah anggota. Tiga sampai 4 orang saja cukup sebenarnya, asalkan ikhlas dan berorientasi pada hasil yang bagus. Tetap jadi dan pasti jadi. Mereka yang hanya mengandalkan kemampuan verbal tidak perlu dihiraukan, kita mengukir hidup kita masing-masing kok, dan Tuhan tidak pernah tidur. Di kala teman-temanmu tidur, panjatkan doa setinggi-tingginya ke hadapan-Nya dan biarkan Dia yang akan mengukir hidupmu. *duh jadi mendadak ustad. Tapi memang itu salah satu bentuk menghibur diri sendiri saat itu, dan alhamdulillah apa yang pernah saya ucapkan dalam Doa, terwujud.