Apa untungnya menjadi seorang editor jurnal ilmiah?

Pertanyaan ini pertama kali muncul bukan dari saya yang dari tahun 2010 hingga sekarang aktif menjadi salah satu editor jurnal (kurang terkenal) di negeri ini. Cukup menggelitik dan menggoyah tembok ‘radikalisme’ setelah mendengar pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang reviewer yang kebetulan juga seorang professor. Setelah menerima email yang berisi artikel untuk direview dari saya, beliau secara langsung bertanya mengenai keuntungan menjadi seorang editor dan reviewer itu apa? Jikalau dilihat dari sisi penulis, sangat jelas keuntungan mereka adalah aktualisasi diri, artikel mereka semakin bagus dan readable tentunya. Bahkan sekarang mempublikasikan artikel di jurnal juga menjadi syarat lulus S2 dan S3, dan bagi peneliti dan dosen bisa mendongkrak karirnya lebih tinggi. Minimal tidak banyak salah ketik, gambar lebih jelas dan lebih terstruktur. Ya.. itu batas minimal non substansial yang akan diterima oleh seorang penulis. Meskipun dibalik itu semua ada proses yang cukup dianggap ‘berat’ dan melelahkan bagi sebagian orang. Namun sekali lagi, itu dari sisi penulis, mereka mendapatkan keuntungan dibalik kerja keras merevisi, membaca artikel lagi dan merevisi lagi hingga sempurna.

Tidak berhenti di situ, saya juga mendapatkan pertanyaan yang sama dari seorang pejabat pemerintah kota di saat proses pendampingan digitalisasi jurnal. Apa untungnya mengelola jurnal bagi kita, yaitu editor? Jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya cukup mudah dijawab dikala jurnal yang kita kelola memberlakukan Article Processing Charge (APC) atau menarik bayaran atas proses review hingga proses produksi artikel. Nyatanya, sangat sedikit jurnal di Indonesia yang memberlakukan APC ini, sangat sedikit. Hanya jurnal-jurnal yang dikelola lembaga khusus non pendidikan yang memberlakukan APC ini. Yang lain, free of charge alias gratisan. Sama halnya dengan jurnal yang saya kelola dan jurnal yang kebetulan saya dampingi. Gratis! Berbeda dengan jurnal-jurnal kawakan di luar sana yang tidak murah menarik bayaran. Ada yang gratisan juga sih sebenarnya, tapi proporsinya mungkin sedikit, justru lebih banyak yang berbayar. Jurnal bagus ya bayarannya bagus, meskipun tidak berlaku untuk semuanya ya.

Kembali ke pertanyaan itu, sebenarnya apa keuntungan bagi editor? Jika kita jawab dari sisi keuntungan finansial sepertinya tidak bisa menjawab. Kita investasikan waktu kita untuk mengedit dan membimbing penulis agar tulisannya semakin baik, semakin bagus tanpa ada nama kita di artikel itu. Bahkan di acknowledgment saja tidak ada apalagi menjadi penulis kedua, ketiga, atau kesekian. Tidak ada, bahkan dilarang, tidak etis dan justru menyalahi kaidah ilmiah.

Sampai pada akhirnya saya coba googling: the benefit of journal editor muncullah tulisannya Stephen A Wise dan kumpulan tulisan beberapa editor-in-chief di The World University Rankings. Meskipun banyak opini yang cukup berbeda tetapi ada 1 titik kesepakatan yang bisa saya tarik yaitu pelayanan. Sebuah jawaban yang sama sekali tidak saya harapkan. Kenapa pelayanan? bukankah ini merupakan suatu pekerjaan professional. Menjaga komunitas science tetap berjalan dan membimbing regenerasi bagi para peneliti-peneliti muda. Meskipun banyak jurnal yang menarik bayaran, tetapi itu bukanlah tujuan utamanya. Harapan akhir dari upaya pelayanan ini adalah agar ekosistem ilmu yang dinaungi oleh jurnal tetap ada, berkembang dan secara kelembagaan si jurnal juga bisa tetap berkontribusi terhadap diskusi ilmiah global. Jawaban tidak terharapkan ini memanggil ingatan saya 6 tahun lalu disaat saya mengikuti pelatihan manajemen jurnal terakreditasi di universitas negeri Malang. Di saat sambutan pembukaan, ketua panitia mengatakan ‘selamat datang orang-orang gila yang siap mendedikasikan dirinya untuk kebaikan orang lain dan bukan untuk dirinya’. Kurang lebihnya begitu.