Tak disadari indexing menjadi bagian hidup kita

Hari ini setelah FGD di Kecamatan Semarang Utara untuk membahas penataan wilayah Semarang, seperti biasa kami mencari tempat makan siang. Rasanya sudah menjadi rutinitas tim setelah bekerja bareng. Tim gabungan dari kolega Fisip dan PWK untuk membantu pemerintah kota. Meskipun masing-masing dari kami sudah menenteng nasi kotak lengkap dengan snacknya, tetapi rasanya belum komplit kalau belum makan bareng di restoran. Sambil ngobrol, menikmati makanan yang tersedia. Meskipun sudah lebih dari 10 tahun tinggal di Kota Semarang, nyatanya kami berempat belum hafal setiap sudut kota. Clingak-clinguk bingung mencari informasi tempat makan yang enak, dekat dan luas parkirnya. Bertanya ke para pegawai kantor kecamatan setempat, pak satpam hingga tukang parkir. Semuanya hanya bilang: ‘banyak pak di sepanjang jalan tinggal milih saja’. Tidak ada rekomendasi khusus kemana kami harus pergi dan makanan apa yang sebaiknya dinikmati.

Tidak kunjung ada kepastian, akhirnya mencari tempat makan lewat aplikasi google di smartphone. Ketik: tempat makan sekitar Semarang Utara, dan akhirnya disajikan berbagai macam alternatif rumah makan. Terlalu banyak pilihan membuat kami kebingungan juga mau memilih yang mana. Akhirnya pemegang smartphone melihat informasi lebih detail di rating konsumen dan komentar para konsumen. Oh ada rumah makan dengan bintang 4,8. Ini rumah makan dengan rate bintang paling unggul rupanya. Akhirnya kamipun bersepakat mendatangi tempat makan itu yaitu Seafood Pak Sangklak berlokasi di Jalan Telaga Mas Raya Kec. Semarang Utara. Keputusan pilihan kami berdasarkan nilai statistik yang dibuat oleh google.

Indexing manual jaman sekolah

Jauh sebelumnya, rasanya sebelum menentukan tempat makan selalu bertanya. Minta pendapat, minimal bertanya: ‘enak nggak masakan di tempat itu?’ – kurang lebih demikian. Kemudian dikala lebih banyak orang memberikan pendapat serupa maka akan semakin yakin atas opini mereka. Jika kebanyakan mengatakan enak maka mungkin kesimpulannya juga memang enak. Begitu opini yang terbangun kemudian mempengaruhi keputusan kita. Proses manual, informal dan tidak terrekap itu rasanya diperhatikan oleh google. Disaat kita meninggalkan tempat makan, asalkan GPS di smarphone aktif, kita sering diminta oleh Google untuk memberikan ulasan. Review kita dipampang dan dapat dibaca oleh publik. Sesekali menambahkan foto-foto otentik hasil jepretan sendiri. 

Rasanya itu bukan hanya berlaku untuk dunia kuliner, alias makan – memakan. Jauh beberapa puluh tahun lalu, dikala kita masih sekolah entah SD hingga sudah kuliah, sebenarnya kita sendiri juga melakukan ‘tindakan indexing’ ini, Disadari maupun tidak disadari, tetapi kita melakukan. Baik, ijinkan saya menjelaskan lebih detail. Dikala kita mencatat setiap pelajaran yang diberikan oleh bapak/ ibu guru, mungkin beberapa di antara kita juga memberikan tanda di catatan yang kita anggap penting. Saya sendiri sangat ingat banget bagaimana sirkulasi darah di dalam tubuh yang dahulu di ajarkan oleh Guru Biologi di SMP. Untuk mempermudah saya ‘menghafal’ waktu itu, saya menstabilo setiap informasi penting, termasuk sirkulasi darah itu. Setiap membuka buku, langsung dengan jelas terlihat: ini penting dan itu tidak terlalu penting. Ya.. minimal sebagai notasi, atau highlight atas informasi-informasi penting dari pelajaran sekolah. Secara sadar sebenarnya kita membuat indexing atas kata-kata penting itu. Bedanya dengan google adalah kita tidak membuat database.

Kemudian, saat kuliah. Di tahun 2000-an, tepatnya tahun 2001 saya masuk pertama kali kuliah, sangat popular buku binder yang berisi kertas-kertas looseleaf yang dengan mudah bisa kita masukkan dan dilepas dari binder ini. Selain itu, ada pembatas warna-warni di binder yang bisa kita manfaatkan untuk membatasi materi antara satu perkuliahan dengan perkuliahan lain. Sebagai contoh: warna merah untuk materi kalkulus, warna hijau untuk kuliah statistik, dan seterusnya. Sebenarnya kita juga melakukan indexing. 

Merapikan dan membuat database indexing 

Di tingkat akhir kuliah S1, mahasiswa diminta membuat skripsi. Penelitian kecil dengan cara mengumpulkan data dan kemudian mendiskusikan dengan literatur dasarnya. Bagi yang menggunakan pendekatan kuantitatif, tentu bermain dengan angka-angka statistik tidak bisa dihindarkan. Angka di sini bisa berfungsi sebagai pembeda atau kode setiap data tetapi bisa juga memiliki satuan tertentu. Jika kita salah memperlakukan data itu maka akan mendapatkan kesimpulan yang salah juga. Sebagai contoh saya ingin menjumlahkan 5 kg gandum dengan 10.000 rupiah, apakah bisa kita simpulkan jumlahnya 10.005? – tidak. Beda jenis datanya. Data kuantitatif yang kita kumpulkan di dalam penelitian S1 ini biasanya kita tabulasi, dimasukkan di dalam tabel. Bisa manual atau menggunakan software. Salah satu teknis paling dasar di dalam olah data ini adalah membuat klasifikasi, mencari perbedaan dau persamaan untuk kemudian kita simpulkan artinya. Untuk membuat pengelompokan ini tentunya kita juga melakukan apa yang disebut dengan coding, Berapa jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki? berapa yang perempuan? berapa yang berpendidikan tinggi? dan sederet pertanyaan lainnya bisa dengan mudah kita hitung setelah kita membubuhkan kode/ notasi. Ini juga indexing dan juga database sederhana.

Membuat database super komplek, inilah yang dilakukan oleh Google. Apakah di saat kita mencari informasi di internet menggunakan layanan google.com memang benar-benar mencarinya? – Tidak. Sebenarnya kita mencari di database-nya google. Dia melakukan pemanenan data kemudian di-index dan di masukkan ke dalam databasenya. Termasuk Rumah Makan Pak Sangklak, tempat kami makan ini. Google mengindex seluruh informasi yang ada di internet dan tidak manual, menggunakan robot digital. Dia mencari informasi di seluruh jagat raya kemudian memasukkan ke dalam database google. Indexing yang dilakukan Google ini sebenarnya juga sama prinsipnya dengan apa yang kita lakukan dengan membuat stabilo di catatan kita, atau mungkin membuat pembagi di buku binder kuliah kita. Jadi, ini adalah keniscayaan yang harus diterima dan memang telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. 

Indexing di dunia penelitian dan perdosenan

Di dunia dosen, indexing seperti Scopus dan google scholar sudah bukan barang baru lagi meskipun keberadaannya sering membawa polemik. Banyak yang setuju tetapi tidak jarang juga berseberangan. Kalau sudah memiliki Scopus ID dan kemudian memiliki portofolio hasil publikasi di Scopus rasanya ada perasaan bangga tersendiri, mungkin demikian untuk sebagian orang. Pasalnya tidak jarang seorang peneliti memamerkan Scopus ID nya di profil peneliti baik di CV maupun di personal blog. Namun tidak sedikit pula yang tidak setuju dan cenderung memojokkan Scopus. Dianggap produk industrialisasi hasil riset dan publikasi dan memang yang memilikinya adalah raksasa publiser dunia yaitu elsevier. Bahkan sampai ada yang malu, dan mencurahkan ‘kekesalannya’ di surat kabar berjudul ‘aku malu menjadi dosen di Indonesia’. Meskipun tidak setuju dengan sistem perscopusan dan dunia indexing, tetapi sebenarnya tulisan itupun juga terindex minimal di google. 

Seperti restoran yang kami pilih tadi, rate tertinggi kami artikan bagus, enak dan memang layak dikunjungi. Begitu halnya dengan seorang peneliti. Mereka yang memliki rate tinggi yang ditunjukkan oleh h-index konon sering diartikan inilah yang berjaya, pantas menjadi rujukan dan lain sebagainya. Jadi, kalau saya sendiri kenapa harus risau dengan dunia indexing. Itu bagian dari kehidupan kita kok. Google dan scopus hanya membantu merapikan dan membuatnya ke dalam database besar. Kenapa harus malu menjadi dosen di Indonesia? kenapa sampai harus mengeluh. Indexing adalah bagian dari kehidupan kita yang sudah ada sejak jaman dulu, hanya saja teknologinya baru muncul belakangan ini. Dan kebetulan pemerintah menjadikannya rujukan, dan itupun tidak salah.

Menjadikan scopus sebagai barometer hasil riset oleh pemerintah itu tidak salah. Sama sekali tidak salah menurut saya, sejauh kita belum bisa membuat teknologi yang sepadan. Jikalau kita sudah bisa membuat teknologinya yang sepadan, nah bolehlah kita anggap Scopus dan pengindex lain itu sebagai rival,