Setelah beberapa kali mengikuti focus group discussion (FGD) penataan wilayah Kota Semarang di beberapa kecamatan, saya belajar banyak hal salah satunya adalah place attachment. Ini adalah istilah/ terminologi yang banyak diperbincangkan di dalam disiplin ilmu psikologi terutama mereka yang belajar psikologi ruang dan psikologi lingkungan. Definisi place attachment sendiri adalah hubungan emosional antara seseorang dengan lingkungan. Hubungan ini sangat erat kaitannya dengan pengalaman seseorang terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Lamanya tinggal, seseorang akan terus belajar dan memahami bagaimana kondisi dan perilaku lingkungan. Orang-orang yang tinggal di pesisir, misalnya, mereka tahu kapan air pasang akan terjadi, ombak besar akan terjadi dan mereka juga paham apa yang harus dilakukan untuk menghadapinya. Inilah place attachment, hasil hubungan sirkuler atau hubungan saling mempengaruhi antara biotik dengan abiotiknya, antara manusia dengan lingkungannya. Hubungan ini tidak hanya mempengaruhi kemampuan manusia beradaptasi terhadap lingkungan, bahkan ada hubungan emosional.
Saya melihat bahwa hubungan emosional ini juga berpengaruh di dalam diskusi pemilihan nama baik nama kecamatan maupun kelurahan. Sebelumnya saya beranggapan bahwa hangatnya diskusi bakal terjadi saat penentuan batas kelurahan mengingat banyak sekali perubahan fisik lingkungan. Ambil contoh ada beberapa kelurahan yang terpotong dan terpisah oleh jalan tol. Awal perkiraan saya di sini, tetapi ternyata berbeda disaat pelaksaan FGD. Diskusi hangat justru bukan di penataan wilayah dan penegasan batas tetapi justru di pilihan nama. Ingin menunjukkan jatidiri kewilayah melalui penamaan, saya rasa ini yang saya tangkap dari setiap usulan nama. Ada beberapa alternatif nama yang diusulkan. Pertama, ada yang mengusulkan nama berdasarkan sejarah masa lalu daerah. Mereka selalu mengkaitkan dengan cerita-cerita terdahulu dan juga peninggalan/ petilasan yang hingga saat ini masih ada. Seperti nama Kyai yang ‘babat alas’ wilayah itu dan bisa juga karena petilasan orang-orang berpengaruh di masa lalu yang hingga saat ini masih ada. Mereka tidak ingin lepas dari sejarah masa lalu ini. Kedua, ada usulan berdasarkan bentangan alam, yaitu kondisi fisik alam yang ada di wilayah itu seperti sendang, rawa, perbukitan dan sebagainya. Nama-nama seperti Rowosari, Telogorejo, dan Telogosari sebagai contoh, itu memiliki hubungan dengan kondisi bentangan alamnya. Mereka memiliki telaga atau mungkin rawa sehingga bentangan alam itu dijadikan tetenger dan diabadikan menjadi nama daerah. Ketiga, ada usulan berdasarkan tetenger alam yang juga berhubungan dengan sejarah masa lalu. Seperti ‘ringin telu’ artinya pohon beringin berjumlah 3. Keempat, nama berdasarkan fenomena alam seperti Tambaklorok, ternyata nama ini berasal dari kata dasar ‘mlorot’ yang artinya turun. Sebenarnya agak sulit menemukan istilah mblorot ini ke dalam bahasa Indonesia, tetapi ilustrasinya adalah jika kita duduk di suatu tebing yang miring kemudian kita turun dengan cara berseluncur di tanah, itulah mblorot dalam bahasa Jawa. Kemudian apa yang mblorot di Tambaklorok ini? jawabannya adalah abrasi yang mengikis tanah di pesisir sehingga seperti mblorot.
Nilai-nilai lokal ini begitu terpatri dan menjadi identitas kewilayahan warga. Tidak ingin meninggalkan nilai-nilai lokal ini menjadi alasan mendasar masyarakat mengusulkan nama-nama kelurahan dan juga nama kecamatan. Ini yang saya pahami sebagai usulan nama berdasarkan place attachment itu. Ternyata Kota Semarang yang sudah begitu maju dan bagian dari metropolitan Kedungsepur tetap menjaga nilai-nilai lokal. Di dalam FGD ini juga diikuti oleh tokoh-tokoh masyarakat yang sudah berusia tidak muda lagi. Mereka yang kita percaya memahami sejarah dan jati diri kewilayah diundang dan diminta pendapatnya. Sangat runtut menjelaskan setiap detail sejarah wilayah, yang mohon maaf tidak bisa saja ceritakan di blog ini karena merupakan bagian dari pekerjaan yang belum bisa di release ke publik.
Lebih lanjut, bagi mereka yang kebanyakan adalah pendatang dan tidak begitu paham mengenai seluk beluk sejarah daerah cenderung memilih arah mata angin sebagai nama daerah, yaitu utara, timur, selatan dan barat. Mereka menambah arah mata angin di belakang nama sebelumnya yang sudah ada. Tidak ada pertimbangan historis begitupula dengan ciri khas setiap daerah. Mereka lebih cepat membuat keputusan dan kemudian disetujui bersama.
Kembali ke place attachment, ada nilai-nilai lokal yang benar-benar menjadi pertimbangan utama. Berdiskusi, berdebat memberikan argumentasi berdasarkan ‘data-data’ yang hanya ada diingatan mereka masing-masing. Mereka yang bisa menyajikan informasi lebih detail, runtut dan bersuara lebih keras biasanya dialah yang menjadi rujukan. Mungkin ini yang kemudian ada tahapan politik di masyarakat bawah, mempengaruhi. Hal menarik lain yang saya tangkap adalah ternyata nama daerah berdasarkan nilai-nilai sejarah jauh lebih penting dibandingkan diskusi batas wilayah. Banyak batas kelurahan yang bergeser karena pembangunan, tetapi ternyata mereka tidak mempersoalkan lebih panjang. Justru nama daerah inilah yang menjadi diskusi hangat.