Harus memulai PhD di saat pandemi

New normal saya sedikit berbeda. Harus memulai proyek PhD di saat pandemi covid-19. Sebagai konsekuensinya, harus stay at home lebih lama. Harus tinggal di kota little netherland ketimbang di negeri aslinya. Untungnya saja tidak ada perkuliahan sama sekali semasa sekolah. Masuk pertama di pertengahan Mei, tetapi di administrasi tetap dimulai 1 Mei 2020. Proses bimbingan dilakukan secara online menggunakan layanan zoom. Hingga sekarang sudah 3 kali bimbingan di bulan Juni semuanya. Rutin tiap 2 minggu sekali dari membahas tema, detailing fokus riset hingga metode penelitian. Khusus yang metode ini menjadi agenda minggu depan, 15 Juli 2020. Dan saya masih bingung karena harus membaca banyak artikel kemudian ditabulasikan di cari kelebihan dan kelemahan setiap artikel. Membaca banyak artikel, saya rasa ini pekerjaan saya. Jadi tidak begitu masalah. Yang menjadi target selanjutnya adalah mengkritisi setiap artikel, kemudian disajikan di dalam tulisan berupa dialog/ debat literatur. Menggunakan bahasa Inggris ala kadarnya, dengan aksen Tembalang tentunya. Ya.. perjalanan saya baru dimulai.

Sejauh ini, bimbingan online tidak menjadi persoalan. Saya sudah memiliki username berupa U-number atau university number, kalo di Indonesia disebut sebagai NIM (nomor induk mahasiswa) dan juga email official dari kampus. Seluruh korespondensi baik yang dilakukan dengan supervisor maupun admin kampus dilakukan melalui email itu. Sedangkan U-number ini lebih sakti ketimbang email. Fungsinya untuk akses apapun yang dimiliki oleh kampus, dari portal internet, akses jurnal hingga database digital yang sudah dilanggan kampus seperti web of science, dan jurnal-jurnal kelas premium dunia. Saya bisa mengaksesnya dengan begitu mudah. Sangat kebetulan kampus dimana saya bekerja juga sudah terpasang Eduroam, layanan WiFi Roaming yang aman dan memang khusus untuk akses bidang pendidikan. Menggunakan eduroam ini saya bisa akses seluruh layanan digital kampus selayaknya saya berada di jaringan internal kampus di Belanda. Caranya tinggal memasukkan username (berupa U-number) dan tentu password. Berselancar seharian ke sciencemag.com, web of science, scopus, wiley journal, dan publisher kelas dunia lainnya. Cukup istimewa. Artinya tanpa datang ke kampus di Belanda-pun, saya tetap bisa akses seluruh materi cukup di sini.

Tidak berhenti disitu, di saat saya tidak memiliki akses eduroam, saya bisa memanfaatkan akses VPN menggunakan eduVPN. Seperti di saat berada di cafe atau mungkin tethering menggunakan HP di rumah. Setelah VPN saya aktifkan baik di laptop, iPad, maupun handphone kemudian saya bisa berselancar selayaknya di jaringan internal kampus. Cukup mudah, dan dimanjakan. Yang cukup lama dinanti-nanti sebenarnya adalah ENDNOTE 9.0 gratis dari kampus. Kalau beli, harganya sekitar Rp. 4.000.000,- untuk 1 kali install di komputer. Bagi yang memiliki akun student/ staff bisa mendapatkan potongan lebih dari 75%. Tetapi tetap saja relatif mahal jika dibandingkan dengan Mendeley yang gratis. Layanan Endnote ini sangat penting bagi saya ketimbang Mendeley karena seluruh database artikel saya sudah tersimpan di Endnote sejak saya mengerjakan tesis S2 di tahun 2009. Sudah lebih dari 10 tahun saya menggunakan Endnote for windows. Kemudian karena harus migrasi ke macOS maka Endnote for windows tidak bisa saya install di mac. Dan alhamdulillah saya mendapatkan software ini secara cuma-cuma/ gratis dari kampus.

Meskipun saya belajar tetapi status saya bukanlah mahasiswa/ PhD Student. Saya adalah staff peneliti yang ditandai oleh kepemilikan U-number (University number) tadi. Berbeda dengan mahasiswa S1 dan S2 yang memiliki S-number (student number). Akun U-number ternyata lebih sakti, saya bisa akses seluruh layanan digital di manapun dan kapanpun. Bahkan dari Indonesia sekalipun. Untuk artikel-artikel yang dilanggan oleh universitas lain di Belanda juga bisa diakses namun belum tentu bisa mendownload. Khusus layanan unduh/ download saya harus meminta ijin/ request ke perpustakaan terkait. Seluruh perpustakaan terkoneksi bukan hanya yang berada di 1 kampus, tetapi hingga antar kampus di seluruh negara Belanda hingga luar Belanda. Saya tidak tau bagaimana manajemen digital mereka sehingga begitu mudah terkoneksi dan memberikan layanan yang begitu baik. Minggu lalu, saya mencoba akses web of science untuk pertama kalinya. Di Indonesia, kebanyakan kampus melanggan Scopus ketimbang web of science, jadi ada perasaan penasaran yang sangat besar bagaimana wujud WoS ini. Saya coba akses tetapi bingung bagaimana proses login dan searching artikel. Merasa kesulitan, saya coba email petugas perpustakaan dan meminta tutorial proses penggunaan. Setelah email terkirim, ternyata ada link WoS di footer website perpustakaan dan tinggal click –> running. Setelah berhasil akses, email request saya tadi dibalas dan diberikan tutorial detail hingga tawaran memberikan pendampingan menggunakan zoom ataupun remote desktop. Hmm… benar-benar layanan prima. Seandainya di tempat kita bisa seperti ini, waaahhh pasti akan lebih baik.

Layanan IT kita tidak kalah lho: mencoba membandingkan

Meskipun layanan integrasi perpustakaan dengan nomor sakti berupa U-number tadi, tetapi sebenarnya tidak canggih-canggih amat. Email yang saya punya masih klasik, tidak terintegrasi dengan layanan Microsoft 365 (misalnya). Berbeda banget dengan di Undip yang langsung terintegrasi dengan Microsoft 365. Di Undip, setelah login ke email, kita bisa akses microsoft office, microsoft teams, onedrive 1 TB dan macem-macem. Jelas lebih canggih punya Undip menurut saya. Saya menilai dari sisi user ya, bukan dari sisi developer. Jelas layanan di Undip jauh lebih sip..mar kusip. Yang berbeda adalah layanan perpustakaan seperti yang sudah saya jelaskan di atas, saya rasa kita harus belajar. Kita di sini bukan berarti kampus Undip, dimana saya bekerja saat ini. Tetapi kita seluruh universitas di Indonesia harus belajar dari mereka. Saya sebagai civitas Undip tidak bisa akses artikel ataupun buku di universitas Indonesia, di ITB atau di UGM. Apalagi meminjamnya. Sedangkan di Belanda berbeda, kita bisa saling telik sandi bahkan bisa saling meminjam.

Meski begitu, saya lihat ekosistem pembelajaran digital Undip jauh lebih jempolan. Jauh… jauh lebih bagus. Mungkin karena sudah melanggan Microsoft 365 enterprise for education sehingga kita bisa melanggan berbagai layanan besutan microsoft secara mudah, dan integratif. Kita bisa membuat LMS (learning management system) menggunakan microsoft teams yang terintergasi dengan SSO (single sign on), wah itu bener-bener oke banget. Top bangetlah. Weekly news juga ada, sudah sama dengan di negara maju saya rasa layanan IT Undip.

Berdamai dengan budaya baru

Apa yang akan kamu lakukan dikala supervisormu menyuruhmu memanggil langsung namanya tanpa embel-embel gelar seperti Prof atau mungkin Pak/ Mister/ Meneer? Itu adalah teguran pertama bagi saya saat bimbingan online. Just call me my name, no Prof.. kurang lebih begitu saran dari dua supervisor yang bertemu secara langsung di zoom. Awal-awal agak kikuk, tetap saja kata Prof terucap berulang kali di kala mau menyebut nama sang supervisor. Kemudian kata prof itu mulai lirih-lirih diucapkan dan sekarang sudah mulai membiasakan diri. Egaliater sepertinya itu yang ingin ditonjolkan. Kita adalah kolega. Mahasiswa S1 dan S2 yang berada dibawah bimbingannya juga demikian, memanggil nama secara langsung. Saking bingungnya dengan permintaan itu, saya sempet whatsapp teman yang kebetulan melanjutkan S2 di Belanda. Saya bertanya mengenai sopan-santun disana, apakah tidak apa-apa memanggil nama secara langsung? – dan jawabannya ya memang harus begitu. Harus berdamai dengan budaya baru.

Seluruh supervisor memberikan bimbingan secara langsung. Berdiskusi dan terkadang sedikit berdebat mengenai teori yang akan digunakan atau justru yang akan dikritisi. Nah..ini yang bagi saya cukup baik, harus angkat topi saya. Kedua supervisor datang secara online di zoom kemudian mendengarkan saya memaparkan progress kerja sambil menslide-show powerpoint. Kemudian yang dilakukan adalah menguji. Jarang banget ada masukan, lebih banyak pertanyaan yang ditujukan untuk memperdalam pemahaman saya atas teori yang digunakan. Mereka datang secara bersama-sama dan on time, kalau telatpun mungkin tidak lebih dari 2 – 3 menit. Justru saya yang pernah terlambat 5 menit karena link zoom terhapus setelah saya click accept undangan online meeting dari supervisor. Gagap teknologi juga saya. Ternyata invitation dari zoom setelah di click accept terdelete secara otomatis dan kemudian akan masuk ke agenda kerja di microsoft outlook. Saya menggunakan Outlook hanya untuk terima dan kirim email saja, tidak pernah baca ataupun membuat agenda di dalamnya. Dan… akhirnya terlambat 5 menit. Saya bilang sorry, there is little bit trouble dan sang supervisor bertanya apakah perlu postpone? – tidak, kita lanjut diskusi. Ini juga menjadi pelajaran baru bagi saya.

Sumber gambar: freepik.com