Bertemu alumni di setiap instansi

Alumni planologi Undip itu ada dimana-mana. Diujung Aceh hingga Papua, semuanya ada. Tahun 2016 lalu dolan ke Meulaboh, ketemu senior 1999. Ada 2 senior di sini, itupun yang saya kenal. Mungkin saja lebih banyak lagi. Di Papua juga demikian. Apalagi kalau datang ke kantor Kementerian PU dan juga Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), pasti bertemu anak Plano di setiap lorong jalanan gedung. Sampai tidak hafal siapa saja nama mereka. Tetapi tahu kalau mereka adalah alumni baik senior atau junior saya.

Seperti foto yang saya ambil di tahun 2018, di bawah ini. Hanya karena update status di whatsapp, berupa foto logo universitas Tri Sakti. Salah satu alumni yang nomornya masih di phonebook langsung replay. Ajak ketemu di salah satu mall di Jakarta. Ini baru 1 angkatan dan yang bisa diajak dadakan. Ada 4 alumni datang, lumayan. Dua diantara mereka kebetulan adalah mahasiswa bimbingan S1. Angkatan 2013, mereka menyebut diri mereka sebagai koloni lebah. Tidak tau maksud dari nama itu. Dugaku mereka mau bikin waralaba semacam indomaret dan alfamart dengan logo utamanya adalah lebah. Mungkin saja arahnya kesana.

Alumni angkatan 2013, koloni lebah

Sekarang ini juga begitu. Saya di Kota Pekalongan, survei untuk penelitian sekolah. Ketemu lagi mereka para alumni. Dari yang membantu menguruskan administrasi survei sampai ketemu untuk sekedar ngobrol dan wawancara informal.

Selain banyak, rasanya kata hebat boleh juga disematkan untuk mereka. Banyak yang sudah menjabat meskipun umur masih tergolong muda, belum tua. Yang paling banyak adalah yang duduk menjadi seorang supervisor (kalau di swasta), atau kasie jika di PNS. Beberapa malah sudah Kabid (kepala bidang) atau selevel manager di perusahaan swasta. Yang membantu urus administrasi ijin survei sayapun adalah teman S1 saya dulu. Meskipun teman seangkatan tapi nyatanya berumur 1 tahun lebih muda dibandingkan saya. Mantaplah.

Jejaring alumni sangat membantu di setiap langkah berkarya. Setiap niat harus diikuti oleh usaha. Dan usaha ini tidak ringan kalau dilakukan sendirian. Jejaring silaturahim yang membuat ringan. Alumni punya kekuatan untuk ini. Bahkan konon katanya di ITB sendiri pemilihan ketua alumni sampai mirip dengan pilihan presiden. Ada kampanye dan juga hampir bisa dipastikan sebagai salah satu langkah meniti tangga lebih tinggi.

Tidak jauh berbeda dengan yang di Bandung. Saya rasa untuk yang di Semarang juga demikian. Rejeki = jejaring alumni + inovasi. Tidak terlalu tinggi saya rasa formula persamaan itu. Saya mengalaminya sendiri dikala masih sekolah dulu di S1 Planologi Undip. Sejak semester 4 saya sudah harus utak-atik peta guna menambah uang jajan. Proyek bareng konsultan. Saya mendapatkan gawean itu dari siapa? – senior saya angkatan 1999. Kemudian setelah lulus saya mendapatkan gawean juga dari alumni. Hubungan informal saja, saling kenal kemudian percaya akan kualitas gawean kemudian deal harga jasa. Sederhana itu saja. Rejeki tidak jauh dari circle kekoncoan kita.

Proyek terjauh dulu di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Rote Ndao. Dapat rejeki itu dari siapa? Alumni juga. Beda lintasan tetapi tetap saja terjalin ikatan meskipun tidak terlembagakan atau non-formal, waktu itu. Kalau sekarang sudah formal. Semoga saja kedepan lebih baik dan semakin rekat.

Alumni di kehidupan saya

Harus saya akui dan perlu saya tulis di sini adalah peran mereka yang begitu besar dalam kehidupan saya. Yang membantu saya bisa sekolah S2 adalah teman saya sendiri. Namanya Yunitavia, sekarang bekerja menjadi seorang birokrat di Kota Tegal. Sekedar info saja, meskipun di Tegal dia tidak bisa bicara kromo inggil khas Tegal. Dia yang mengurus administrasi pendaftaran S2 di tahun 2008 waktu itu. Saya berada di Pulau Kalimantan, mencari bongkahan berlian, alias proyek. Saya harus menyusuri sungai Barito dari Hilir hingga Hulu. Saya mendapatkan pekerjaan ini juga dari alumni. Anak angkatan 2002, namanya Yusuf Syarifudin. Namanya mirip saya tapi wajah saya lebih baik. Dialah yang memberikan rekomendasi untuk mendapatkan gawean dari sebuah konsultan nasional di Semarang. Itu sekelumit bagaimana alumni di saat saya menempuh S2.

Bekerja di UNDP di Jakarta selama 10 bulan, tahun 2010 – 2011 juga karena alumni. Namanya Danang Insita Putra. Waktu itu belum Doktor. Sekarang dia sudah PhD lulusan Jepang, Yokohama National University. Universitas impian saya ini, hampir saja saya masuk ke sana. Itupun juga karena rekomendasi teman botak ini. Bahkan hampir saja saya mendapatkan beasiswa PhD dari Jepang. Namun sayang, administrasi memutuskan lain.

Bahkan di lingkup terkecil, keluarga. Istri saya adalah mantan pacar saya, pastilah. Bukan hanya itu, dia adalah alumni di satu almamater juga. Sekelas waktu itu. Daripada saya menjaga jodoh orang lain, mending saya jaga teman sendiri, jadikan pacar kemudian dijadikan istri.