Harus survei di kala pandemi. Tidak bisa dihindarkan, survei pendahuluan untuk riset sekolah. Lokasinya yang berada di luar kota mengharuskan menggunakan kendaraan umum ketimbang pribadi. Berada di Kabupaten Demak dan Kota Pekalongan. Demak itu kabupaten tetangga, jadi cukup starter motor butut dan meluncur. Kurang dari 1 jam, sudah sampai. Itupun tidak harus ngebut, cukup 60-70 Km/jam asalkan konstan. Berbeda dengan yang di Pekalongan, motoran 100 Km PP Semarang – Pekalongan tentu menguras stamina. Transportasi publik menjadi satu-satunya pilihan.
Menyiapkan protokol kesehatan pribadi
Saya berasal dari Kota Semarang, dimana saat ini menjadi salah satu zona merah Covid-19. Harus antisipasi transportasi publik yang menjadi salah satu ‘vektor’ penularan penyakit. Meskipun bukan menjadi vektor langsung tetapi transmisi human to human berlangsung di kerumunan massa. Karena alasan itu saya harus menyiapkan protokan kesehatan lebih dan lebih lagi. Masker dan hand sanitizer saja rasanya tidak cukup. Tidak hanya memikirkan diri sendiri selaku surveyor tetapi juga harus memikirkan narasumber, informan saya. Kepercayaan atas status kesehatan menjadi penting. Mereka akan bertemu saya yang berasal dari zona merah covid-19. Menjadi pertimbangan etik baru selain kelengkapan administrasi berupa surat-surat.
Selain perlengkapan pribadi juga harus menyiapkan dokumen status kesehatan saya. Sebagai standar etika baru. Saya melakukan rapid test yang kemudian hasilnya saya bawa bersama surat ijin survei. Albamdulillah, non reaktif. Dengan niatan agar narasumber nyaman bertemu saya. Sedikit berlebihan? – semoga saja tidak. New normal tentu harus diikuti dengan new ethic.
Perlengkapan pribadi juga lebih komplit. Biasanya hanya membawa hand sanitizer dan masker. Kali ini berbeda, membawa lebih. Selain 2 benda itu saya juga membawa tisu basah sebagai pengganti disinfectant. Saya pakai untuk lap setiap handle kursi yang saya tempati. Juga saya pakai untuk membersihkan layar hand phone dan ipad sesering mungkin. Sudah menjadi hal normal setelah memegang barang-barang disekitar kita kemudian memegang handphone. Sering banget saya bersihkan. Selanjutanya, saya juga membawa kaos tangan. Meskipun pada akhirnya tidak saya pakai. Hanya jaga-jaga saja semisal hand sanitizer habis atau ilang. Dan perlengkapan terakhir adalah baju lengan panjang.
New Normal di kereta api
PT. Kereta Api Indonesia sudah menerapkan protokol kesehatan. Salut dan angkat topi untuk BUMN ini. Public transport sudah disiplin, tinggal kita juga yang harus mendisiplinkan diri. Setiap deret kursi yang semestinya diisi oleh 2 penumpang, hanya diijinkan diduduki oleh 1 orang. Physical distancing, bagus sekali mengikuti protokol kesehatan banget. Disiplin adalah bagian dari budaya bangsa maju.
Menjadi standar baru, masuk peron dicek suhu tubuh. Saya rasa ini ada dimana saja, di mall juga demikian. Para petugas menggunakan perlengkapan lengkap dari masker, kaos tangan, face shield dan tentu berbaju lengan panjang. Di pengeras suara, kondektur kereta juga mengingatkan mengenai standar kehidupan baru ini. Kita bisa memilih apakah mau pakai face shield atau masker, begitu di pengumuman. Namun saya rasa masker adalah kewajiban. Bukan hanya melindungi orang lain dari droplet kita tetapi juga melindungi kita dari sebaran virus. Itulah kenapa tadi malam saya harus mencari masker standar medis. Bukan masker kain 3 lapis lagi, apalagi masker fashion 1 lapis. Tidak, tidak sama sekali.
Tidak hanya di kereta, di peron stasiunpun juga menerapkan hal serupa. Saya rasa bukan hanya di stasiun Semarang dan Pekalongan tetapi semuanya. Teman yang sering menggunakan KA Solo-Jogja juga menceritakan hal serupa. Bisa dibaca di weblog metametu.com ini. Setiap kursi tunggu penumpang dibuat selang-seling. Satu tempat duduk boleh digunakan kemudian diselingi oleh tempat duduk yang tidak boleh dipakai. Begitu seterusnya. Di parkiran juga disediakan wastafel untuk cuci tangan. Selanjutnya bismillah.