Menentukan arah di rimbunnya literasi

Dalam studi PhD, kita harus menentukan arah diri sendiri. Supervisor atau pembimbing benar-benar bertugas sebagai guide dan bukanlah pemimpin rombongan. Mereka adalah translator dari ide ke diskusi dan debat ilmiah. Mereka juga yang mengantarkan kita kepada satu titik dimana kita sendiri yang harus menentukan. Mau ke kanan, ke kiri, ke depan atau justru ke belakang. Semua arah menawarkan keindahan literasinya, pengetahuan baru yang selalu menggugah adrenalin kepoisme. Meskipun dibalik itu semua ada konsekuensi, ada harga yang harus dibayarkan. Sama halnya dikala kita harus menentukan wahana di suatu pusat permainan, seperti ancol atau trans studio. Kita akan mendapatkan kesenangan atas wahana itu, tetapi ada syarat dan ketentuannya. Ingin main roller coaster? Harus memiliki minimal tinggi badan 130 Cm, itu hanya contoh saja bagaimana kita harus independent menentukan who you are, dan what are you going to do.

State of the art, novelty, gap analysis dan sederet istilah lainnya. Itu semua adalah wahana baru seorang PhD researcher. Apakah sudah menemukan wahana-wahana itu? – bukan perkara kebut satu malam, mungkin berbulan-bulan dan akhirnya bisa didapatkan. Rasanya ucapan alhamdulillah benar-benar bukan buah bibir, tetapi rasa dalam hati yang diucapkan dengan lisan dan diamalkan dalam tulisan. Senang rasanya, tapi sekali lagi setiap ‘wahana’ tidak hanya menyuguhkan happiness, ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Ada harga tiket yang harus dibeli.

Membuat scoping dari huge concept menjadi operational concept itu saja sudah berasa meninggi kesejahteraan diri, apalagi kalau sudah bisa menyajikan dalam buah karya ide. Tetapi sekali lagi mau kemana sekarang? – setelah menemukan ‘bumbu penyedap rasa’ bermerk state of the art dan prediksi novelty itu sekarang mau masak apa? Empat masakan yang harus dibuat, semuanya terangkai.

VOS Viewer versi X

Peta literatur yang bisa kita telusuri menggunakan bibliometrik, kemudian telusuri artikel kunci, baru setelah itu membacanya, rasanya sudah tidak lagi efektif. Alat ini hanya berhenti disini, tidak lebih. Wahana baru yang benar-benar harus ditemukan bukan dengan cara merenung, terus berjalan sambil meniti di atas rimbunnya gagasan dan inovasi orang lain.

Tulisan sebagai ekspresi gagasan dan emosional di antara rimbunnya karya orang lain. Ini seni baru yang baru saya masuki. Tidak cukup hanya menggerakkan mouse di atas kanvas QGIS, atau berdiskusi dengan komputer melalui code-code biner RStudio. Lebih dari itu. Berjalan sambil bikin jalan. Istilah ini saya ambil dari buku ‘Maleh dadi segoro’ namun beda sekali konteksnya. Setiap langkah terus melaju untuk hal baru. Materi yang memang ‘belum ada’, atau sudah ada namun jarang dibahas. Tidak ada lagi template baku, harus seperti ini atau seperti itu. Tidak ada lagi baju kebesaran bernama approach, apalagi militan dengan metodologi.