Gotong royong: metode belajar warga Diponegoro

Banyak cara menyelesaikan studi S3, selain yang utama yaitu mengerjakan riset, menulis dan mempublikasikannya. Ada gotong-royong, bareng-bareng mencurahkan setiap persoalan termasuk ide kemudian sama-sama menyelesaikan. Kebersamaan saling sharing untuk tujuan bersama. Ada collective action di sini melalui gotong royong. Rasanya ini menjadi metode yang bukan baru di masyarakat kita, merah-putih. Kebersamaan untuk mencapai tujuan bareng-bareng. Studi bisa selesai sesuai dengan persyaratan yang sudah ditetapkan. Saya rasa metode ini hanya ada di negeri ini yang memandang individu sebagai bagian dari komunitas. Kita adalah saudara dikala kita memiliki indikasi kesamaan yang ditunjukkan oleh berbagai hal dari bahasa hingga apa yang sedang dihadapi.

Di luar itu ada juga klinik manuskrip. Saya rasa ini cukup popular di negeri ini. Tidak banyak dijumpai di belahan negara lain. Di beberapa negara maju, sepertinya itu menjadi persoalan anda, lebih tepatnya individu anda dan bukanlah gawean komunitas. Di negeri merah-putih berbeda. Persoalan anda adalah persoalan kami. Maka bersama-sama bergerak mendiskusikan dan pada akhirnya mencair, mencari jalan solusi atas persoalan itu. Memang lebih ringan dikala 1 persoalan dipikirkan oleh lebih dari 2 orang yang memiliki lingkup sama. Bisa jadi satu persoalan di seseorang bukanlah persoalan bagi orang lain karena sudah berhasil dilalui. Kemudian yang diperlukan di sini hanyalah sharing. “Yang saya lakukan dulu begini untuk menyelesaikan persoalan itu“, demikian kalau dibahasakan lebih lugas.

Sisi lain yang tidak kalah penting adalah bersifat bottom-up, muncul dari bawah atau akar rumput. Saya rasa ini kekuatan lokal yang memang ‘hanya’ ada di negeri ini. Meskipun ada juga yang menganggap gotong royong itu ada karena tidak mampunya ‘state’ mengelola sesuatu di warganya. State di sini bisa artikan negara, tetapi bisa juga kalau di lingkup kampus ya.. kampus itu sendiri. Saya sendiri ada di sisi yang berseberangan. Gotong-royong itu memang social capital yang muncul dari rasa memiliki dan perasaan bersama atas suatu persoalan. Masalahmu adalah masalahku. Mungkin begitu.

Seperti ruang diskusi digital di Undip ini, kami menyebutnya E = MC2, tidak ada komando dari siapapun. Tidak ada undang-undang, tidak ada peraturan pemerintah maupun peraturan tingkat RT. Di buat saja dari hanya diskusi biasa-biasa saja hingga yang luar biasa. Mendiskusikan riset hingga aturan-aturan yang berfungsi sebagai rambu agar riset bisa berjalan semestinya. Sesekali ada kata-kata mutiara penyemangat agar segera menyelesaikan. Sependek pengetahuan saya, forum serupa juga ada di kampus lain. Ya memang, kita ada di akuarium yang sama.

Akuarium kita bersama

Rasanya tidak ada salahnya kalau kita kaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini. Pandemi covid-19. Yang kebetulan saya lalui di 2 akuarium berbeda. Yang pertama di negeri dua warna dan yang kedua di negeri 3 warna. Hanya ada 1 warna pembeda, yaitu biru di kibar benderanya. Ada gotong royong juga di dalam pengelolaan pandemi di Indonesia. Ada tukang bubur yang memberikan makanan gratis setiap hari jumat bagi yang isolasi mandiri. Kemudian ada undangan beredar melalui group whatsapp untuk mendonorkan plasma konvalesen bagi mereka para alumni covid untuk yang sedang terinfeksi virus. Ada juga yang menggalang dana melalui platform-platform digital, kemudian disumbangkan ke para penderita covid. Itu adalah gotong royong, dan itu baik. Meskipun tetap ada yang mengatakan bahwa itu model social safety net yang muncul karena kegagalan negara. Saya pribadi berada di sudut yang tidak setuju. Itu baik untuk negara, baik untuk diri kita dan baik untuk diri anda. Di negeri 3 warna tidak begitu, itu hanya diurus oleh 2 pihak: negara dan individu. Sedikit kebersamaan antar warga.

Sama halnya dengan riset untuk studi S3. Ini bukan hanya urusan sekolah dan mahasiswa atau lebih sempitnya adalah urusan supervisor – mahasiswa, tetapi menjadi urusan bersama. Sesama mahasiswa juga membuat social safety net guna berbagi berbagai hal yang berkaitan dengan riset dari metode, cara perolehan data hingga strategi-strategi menghadapi ujian. Bolehlah kita sedikit berbangga diri atas diri kita sebagai bagian dari warga merah putih. Yes we can – Barack Obama. Itu slogan kampanyenya dan dia menekankan WE daripada I. Sedangkan di negeri merahputih, kata WE sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.