24 km

Menu baru, 24 km, akan saya sajikan di sini. Angka yang muncul dari perkalian 12 x 2 = 24 yang berasal dari jarak rumah ke kampus. Masih berencana akan bersepeda setiap hari senin – rabu dan jumat ke kampus PP, perjalanan ulang-alik. Meski rencananya adalah 3 hari itu, namun saya juga tetap memperhitungkan cuaca. Dikala tidak hujan, dan memang mendukung untuk bersepeda. Bisa saja bakal bergeser hari dan jamnya. Alhamdulillah sudah dicoba 2 kali, dan sebelumnya juga pernah bersepeda lebih dari 50 km beberapa kali. Ternyata masih kuat, Puji Tuhan, alhamdulillah.

Inspirasi itu berawal dari sini: Cities in civilization, buku yang ditulis oleh Peter Hall. Buku yang membahas sejarah kota dan perannya membangun peradaban. Membangun peradaban bukan mendiskusikan peradaban. Kota yang sangat dinamis buah dari pemikiran, diskusi, dipahami dan kemudian diterapkan. Setelah diterapkan dipromosikan menjadi ‘barang dagangan’ mereka ke seluruh dunia. Jadi sangat tidak heran dikala teori di buku dengan di lapangan relatif sama, tidak ada distorsi.

Pengalaman selama bersepeda dengan melihat berbagai aktivitas warga sekitar termasuk kondisi kampung-kampung Belanda akan menjadi isi menu baru ini. Niat awalnya ingin menulis tentang fietspad Belanda, namun karena banyak sumber berbahasa lokal, rasanya belum bisa memenuhi ambisi itu. Sudah download 3 thesis yang membahas jalur sepeda di sini, dari sejarah, ornamen atau furniture-nya, hingga kebiasaan warga lokal. Namun sayang bahasa Belandaku masih di level A0, alias hanya paham kata-kata popular saja, tidak mendalam.

Jalur sepeda, teknologi sepeda dan filosofi sepeda rasanya tidak bakal habis saya baca dan tulis di sini yang hanya bersumber dari satu negara, Londo. Kenapa mereka selalu bersepeda kemanapun? Apa filosofi mereka? Kenapa tidak kuda saja? Kenapa jalur sepeda dicat merah seperti red carpet? – dan memang pesepeda adalah raja disini. Sebagai contoh, dikala kita bersepeda di jalur warna merah dan ada mobil maka mobillah yang harus mengalah. Bisa dengan berhenti atau justru berkendara di belakang sepeda, itu cara mereka mengalah. Pertanyaan kepoisme itu yang selalu saya tanyakan ke landlord atau Pak Kos. Kebetulan beliau sedang belajar bahasa Indonesia, dan juga menjadi guru privat bahasa Belanda, jadi bisa intens berdiskusi.

Selain itu, street furniture, sitting ground dan ornamen kota lain itu banyak sekali di sepanjang jalan. Saya belum paham semuanya, itu namanya apa dan kegunaannya untuk apa? – masih gelap semua. Masih terus bertanya kenapa seperti itu? Setiap menemukan semua itu rasanya otak ini terpelanting ke beberapa tahun lalu dikala belajar tapak dan urban design di kampus. Melihat gambar di buku dan slide powerpoint, hanya sedikit membaca. Desain yang diterapkan bukan hanya di bangunan, bukan juga di komlek perumahan, atau kota tetapi dalam konteks wilayah bahkan negara. Menarik sekali, setidaknya untuk saya. Jalan khusus kudapun juga masih ada, klasik dan tradisional. The future is old, saya rasa salah satu kota di Jawa Tengah memiliki niat yang sama, Solo. Dikala mereka membangun citra lawas menjadi konsep membangun kota saat ini dan ke depan. Kurang lebihnya seperti itu, kalau di teori disebutnya pelestarian kota.

Kembali ke niat 24 km itu. Menu ini hanya akan menyajikan apa yang saya lihat dan rasakan selama perjalanan dengan memperhatikan elemen-elemen kota tadi. Tidak ada niat untuk mempromosikan negara kompeni yang pernah menguras sumber daya alam kita selama 3,5 abad. Hanya ingin belajar saja bagaimana mereka hidup, bagaimana mereka merencanakan dan mendesain lingkungannya. Rasanya itu akan menjadi oleh-oleh pandangan mata untuk semuanya, termasuk untuk saya sendiri.

Bukunya Peter Hall itulah yang menjadi inspirasi menu baru ini. Kombinasi dari kalori yang dikeluarkan untuk mengayuh pedal, mata yang terbelalak, rasa penasaran, dan warga yang selalu mengajak ngobrol dengan bahasa daerah mereka, londo. Semua itu mungkin akan menjadi isi menu baru ini.