Dari Sentinel 2 ke remote planning, ide kosong saja

Tulisan ini tidak berisi tutorial bagaimana membuat klasifikasi tutupan lahan, melainkan cerita saja saat mengajar anak-anak D4 PTRP Undip. Akhir bulan lalu (29/10/2021) saya mendapatkan kesempatan mengajar anak-anak studio lagi. Mereka yang sedang duduk di D4 sekolah vokasi Undip jurusan perencanaan tata ruang dan pertanahan (PTRP) belajar bagaimana menggunakan software untuk proses pemanenan data dan juga klasifikasi tutupan lahan memanfaatkan Sentinel 2. Khusus data mining, itu sudah dilakukan tahun lalu secara daring. Meskipun tujuan utama kuliah tahun lalu itu bukanlah data mining melainkan pengenalan data science untuk perencanaan tata ruang kota. Kali ini berbeda, saya mengajari mereka melakukan pengklasifikasian tutupan lahan dengan Quantum GIS dengan memanfaatkan citra satelit Sentinel 2 dari ESA (European Space Agency) miliknya uni eropa. Bagi anak-anak tata ruang Undip, gawean peta itu bukanlah hal yang baru, bukan pula hal yang asing. Itu memang bagian dari kehidupan akademik mereka. Dari semester awal, sepertinya di semester 2 atau 3, mereka sudah mengenal software-software pamungkas seperti AutoCAD, ArcGIS, dan juga Quantum GIS. Bagi saya sendiri, ini bukanlah keahlian saya, mereka yang tergabung di lab geomatika yang kesehariannya memang utak-atik software ini, mereka adalah suhunya. Saya hanya user sekedar tahu kulit-kulitnya saja. Sama halnya dengan AutoCad untuk pemetaan, lama sekali tidak digunakan dan akhirnya mendapatkan tugas untuk mengajarkannya. Pengalaman itu saya tulis di sini.

Sangat bersyukur, saat ini layanan open data begitu mudah di download. Dari manapun, ambil dari NASA Amerika, atau dari ESA-nya Eropa. Banyak layanan gratisan untuk belajar. Cari tutorialnyapun begitu mudah di youtube. Atau kalau ingin yang berbayar bisa ikut di kelas-kelas online seperti coursera, udemy dan lain-lain. Di Undip sendiri ada kulon.undip.ac.id, kulon adalah singkatan dari kuliah online. Jadi tidak salah rasanya dikala Elon Musk mengatakan : Collage is basically for fun not for learning karena sumber daya ilmu pengetahuan di internet sudah banyak tersedia. Benar-benar internet menjadi repository ilmu pengetahuan dimana kita bisa dengan mudah mengakses, baca, dan mengujinya. Rasanya gedung sekolah itu tidak lebih dari working space atau cafe lengkap dengan orang-orang yang kebetulan memiliki minat yang sama saja pada beberapa bidang ilmu. Tempat untuk berdiskusi dan sharing saja. Itupun sebenarnya juga sudah bisa dilakukan melalui webinar-webinar dan online talk baik gratisan maupun berbayar. Benar-benar era terbuka.

Sama halnya dengan citra satelit. Dua puluh tahun lalu, itu adalah salah satu data termahal di bidang studi planologi. Harus beli, itupun tidak bisa hanya sekedar click kemudian download, beberapa menit sudah berada di folder komputer. Dahulu harus membuat purchase order kemudian mentransfer sejumlah uang, menunggu kapan satelit melewati tempat yang kita request kemudian baru proses pemotretan. Terkadang tidak sesimpel itu, dikala kita meminta adanya syarat, contohnya maksimal 10% tutupan awannya, maka bisa jadi akan menunggu lebih lama tergantung dengan kondisi alam dan perputaran satelit. Tetapi itu cerita masa lalu, masa dimana disket masih berukuran 8 inch, kemudian menyusut menjadi 5,5 inch, dan menyusut lagi menjadi 3,5 inch.

Sekarang memiliki cerita berbeda, kemajuan sudah terjadi. Revolusi industri 4.0 katanya, data tersedia, layanan internet begitu murah dan mudah. Sangat mungkin untuk melakukan apa yang disebut dengan remote planning, lokasi perencanaannya entah dimana, sedangkan yang melakukan perencanaan cukup berada di kota yang berbeda.

Remote planning

Inspirasinya dari remote computing yang harus saya lakukan karena konsekuensi keterbatasan infrastruktur. Pengalaman itu saya tulis di sini, dan juga di sini. Saya meremote komputer adik saya di Kalimantan dari Semarang dan juga dari Belanda untuk melakukan olah data. Hal serupa sebenarnya sudah bisa dilakukan untuk perencanaan, remote planning. Merencanakan kota jarak jauh, kurang lebih demikian idenya.

Apakah itu mungkin? Melihat ketersediaan open data saat ini, saya yakin amat sangat mungkin sekali. Data spatial dan data non spatial yang diperlukan untuk perencanaan kota sudah tersedia semuanya. Data citra satelit, rupa bumi Indonesia, data kependudukan, data ekonomi wilayah hingga survey traffic secara realtime memanfaatkan google API, itu semua sudah bisa dilakukan secara online tanpa harus menunjukkan telunjuk tangan basah guna menghitung mobil dan motor. Traffic counting, demikian para ahli transport mengatakannya. Data itu bersifat agregat, tapi sudah sangat berguna bagi urban planning. Digitasi peta menggunakan AutoCAD untuk mendapatkan jaringan jalan juga sudah tidak perlu dilakukan. Download saja baik dari OSM (open street map) atau dari website pemerintah. Sudah dalam bentuk SHP dengan koordinat terkoreksi.

Melihat seluruh kemudahan itu, saya rasa dikala mereka menyusun dua dokumen perencanaan yaitu proposal teknis dan laporan akhir, harusnya juga menyesuaikan. Sudah tidak buta lagi saat menyusun proposal teknis. Tidak lagi hanya berupa tanggapan atas kerangka acuan kerja (KAK) atau term of reference (TOR), harusnya sudah berani menyajikan konsep di bagian proposal. Singkatnya, proposal teknis bukan lagi berisi rencana kerja tetapi sudah menyajikan ide/ gagasan konsep atas penyelesaian persoalan perkotaan. Terus untuk apa survei lapangan? Verifikasi data dan isu perencanaan. Saya rasa di situ. Beban kerja akan berganti di bagian proposal teknis ketimbang laporan akhir, karena harus menyusun konsep perencanaan. Rasanya, itu bukanlah khayalan kosong saat ini dikala open data begitu banyak dan memang tersedia gratis.

Ayo nyebur, jangan hanya di daratan

Lagi-lagi melihat data yang cukup melimpah dan karakter negara yang unik, banyak laut dan pulau-pulau kecil, saya rasa harusnya sudah mulai memberanikan diri untuk ekspansi ke tempat lain. Perencanaan pulau-pulau kecil atau mungkin kota-kota pesisir yang terancam tenggelam akibat land subsidence dan sea level rise sangat mungkin dilakukan. Jangan hanya berkutat di daratan nan luas, mencoba ke pulau-pulau mikro dengan konektivitas kapal rasanya harus mulai diperkenalkan ke mereka.

Jika tidak bisa survei kesana, ya cukup dengan remote planning itu tadi. Mudah, murah dan mewah. Sudah terlalu sering (atau mungkin justru selalu) bahwa praktik planning saat ini hanya di daratan luas, yang batas atas-kiri-kanan-bawahnya juga daratan. Challenge! geser ke pulau kecil, gunakan open data dan big data. Itu sangat mungkin dilakukan saat ini. Mau beralasan data tidak lengkap? Perbanyak nonton youtube saja sana, banyak tutorialnya.

2 thoughts on “Dari Sentinel 2 ke remote planning, ide kosong saja”

Comments are closed.