Belajar sopan santun dalam menulis

Etika dalam menulis sebaiknya tidak hanya diterjemahkan semata-mata ‘tidak melakukan tindakan plagiasi’. Rasanya lebih dari itu, termasuk bagaimana memilih kosakata dan menyusunnya menjadi kalimat untuk mengekspresikan argumentasi. Meskipun apa yang diyakini benar dan kuat, tidak serta-merta harus menggunakan kalimat-kalimat provokatif. Kecuali memang itu sudah terbukti dari berbagai penelitian hingga perlu memberikan strong statement. Seperti pelajaran yang saya dapatkan dari diskusi dengan 4 kolega berpikir dan terkadang berdebat. Debat itu artinya bertukar pikiran, dan bukan eyel-eyelan untuk saling mempertahankan pendapatnya dengan menjatuhkan atau kadang mengungkap keburukan lawan debat. Itu tidak substansional dan rasanya kurang baik, meskipun banyak terjadi di lingkungan kita sebagai bagian dari social exposure. Ada beberapa hal yang saya pelajari dari mereka, yaitu sebagai berikut:

Jangan arogan meskipun kamu benar. Ini adalah pernyataan dari teman saya, namanya Andogo panggilannya Ndog. Teman ngopi, dan sekaligus penghobi modifikasi motor dan mobil. Di obrolan tengah malam di bulan ramadhan setelah mendapatkan email rejection dari editor atas artikel saya yang disubmit di salah satu jurnal nasional. Alasan penolakannya adalah plagiarism, gila banget, rasanya pingin marah dan ingin menggunakan kata-kata kotor untuk membalasnya. Minimal kata geblek rasanya ingin saya keluarkan waktu itu. Kejadian atas itu saya tulis di sini (artikel saya terkunci di Turnitin). Bukan bermaksud membusungkan dada, tetapi saya cukup paham mengenai bagaimana cara kerja turnitin yang selama ini juga saya gunakan. Singkat cerita, zoom meeting dengan teman satu ini dan dia mengatakan hal di atas itu: jangan arogan meskipun kamu benar. Masalah utamanya adalah adanya perbedaan pemahaman antara si editor dengan kamu yang juga paham turnitin. Jelaskan saja baik-baik, kemudian kalau tidak paham juga ya sudah lepaskan. Hampir saja kepancing untuk menggunakan bad word. Sama halnya dikala kita ingin mengkritik sesuatu, maka mengikuti logika sang lawan bicara justru lebih baik, lebih kena dan lebih terkesan sebagai pendengar.

Gunakan fakta lain, dan hindari superlative. Begitu juga di kala menulis suatu artikel ilmiah, dikala ada kesempatan mengkritik, apakah akan menggunakan kata-kata superlative? Kalau yang ini adalah saran dari teman saya yang lain, namanya Mas Rudi. Teman ngopi juga waktu masih di Semarang penghobi musik dan juga otomotif. Hindari kata-kata superlative nan hiperbolis katanya. Semuanya dengan tujuan untuk memperhalus. Seperti saya ingin mengatakan: land subsidence di Indonesia adalah yang terburuk di dunia. Untuk memperhalusnya, dia menyarankan untuk menggunakan fakta-fakta lain seperti land subsidence di Indonesia telah menarik perhatian periset global. Dan faktanya memang begitu, banyak periset global yang tertarik untuk mempelajari.

Samarkan fakta besarnya. Saran memperhalus kalimat juga datang dari Mas Andi, teman nongkrong di burjo saat kuliah S1 dulu. Samarkan saja dengan manambahkan kata sepertinya menjadi land subsidence di Indonesia sepertinya yang terburuk di dunia. Faktanya tetap ada, tetapi kalimat yang dikonstruksi lebih halus tidak menunjukkan jemari ke pada suatu lokasi ataupun aktor. Itu point nya. Karena dikala kalimat-kalimat sensitif (meskipun benar) dilontarkan mungkin akan memberikan indikasi psikologis yang berbeda bagi pembaca.

Sebaiknya hindari strong statement. Kalau ini dari bu Maya, dulu adalah pembimbing skripsi S1 dalam kelompok riset PHK A2 yang juga masih menjadi pembimbing hingga saat ini. Indahnya budaya Indonesia itu di sini, ada social capital yang tidak dinilai dari durasi jam diskusi apalagi rupiah. Dalam beberapa diskusi, beliau menyarankan untuk hindari strong statement. Untuk kalimat yang didiskusikan, rasanya tidak bisa saya tulis di sini, itu bagian dari temuan riset yang belum dipublikasikan. Berbeda dengan land subsidence yang sudah tertulis di alenia sebelumnya, itu hanyalah contextual background dimana mudah sekali ditemukan pernyataan serupa.

Di etika menulis inilah akhirnya pada titik untuk belajar budaya dalam bahasa. Begitu juga belajar sopan santun dalam bertutur. Tidak selamanya apa yang diyakini benar harus disampaikan dengan begitu akurat dan sedikit memaksa. Membanjiri fakta-fakta dengan mengesampingkan sopan santun. Sekali lagi, sekalipun itu benar. Sering sekali kita akan memahami suatu persoalan setelah mengalami beberapa kali. Contohnya adalah kita membaca sebuah artikel, kemudian di kemudian hari di baca kembali artikel yang sama. Niscaya akan memiliki pemahaman yang berbeda. Ada peningkatan pemahaman atas konteks yang ditulis di artikel itu. Artinya memahami membutuhkan waktu. Begitupula dalam menulis gunakan kalimat-kalimat yang netral, standar-standar saja ungkap fakta-fakta riset untuk telling the truth.