Diskusi riset kualitatif. Bagi saya, ini sulit, harus mencari makna dari kosa kata. Meskipun riset S2 saya dianggap menggunakan kualitatif oleh reviewer dan editor jurnal Makara Human Behavior Studies in Asia (unduh di sini), namun tetap saja tidak merasa PD dengan model riset ini. Rasanya harus membaca banyak artikel dari berbagai sudut pandang kemudian merumuskan dalam suatu makna tertentu. Tidak tau, apakah yang saya tulis itu benar ataukah tidak. Namun rasanya memang di dalam riset kualitatif harus lebih banyak membaca artikel ketimbang mengolah data. Itu sedikit berbeda dengan kuantitatif dimana ukuran angka menjadi pijakan membuat kalimat.
Mengukur kota bukan lagi dari bentuknya, dari jumlah penduduknya, ataupun luas kotanya, Justru dari proses pembentukannya. Itu yang sedang diriset oleh teman satu ini. Satu perspektif baru bagi saya dikala selama ini hanya melihat bentuk ruang, sekarang justru dipaksa untuk memikirkan bagaimana prosesnya hingga membentuk.
Ukuran kuantitatif seperti jumlah penduduk untuk mengklasifikasikan kota besar, sedang ataupun kecil tidak digunakan. Namun dari sini jadi teringat buku yang ditulis oleh Peter Hall mengenai cities in civilization. Menceritakan terbentuknya kota dari proses interaksi manusia dengan lingkungan permukimannya yang kemudian disebut sebagai peradaban. Kota bukan lagi satuan hitung lagi. Kalau di Indonesia ada Pak Jo Santoso yang menulis menyiasati kota tanpa warga. Sudah lama sekali membaca buku ini, kurang lebih juga menceritakan hal serupa. Berawal dari sejarah manusia yang berjalan untuk berpindah, kemudian menetap membentuk permukiman, koloni, bercocok tanam hingga membentuk lingkungan permukiman. Ada proses interaksi manusia – alam yang kemudian membentuk apa yang disebut dengan lingkungan perkotaan. Maka beliau menyarankan untuk tidak hanya menghitung jumlah manusianya saja kemudian direncanakan jumlah sarana-prasarana, itulah inti dari [menyiasati] kota tanpa warga. Lagi-lagi proses, yang kemudian membentuk peradaban.
Ada kebiasaan warga yang kemudian diakomodasi menjadi bentuk kota, maka akan ada sinergi antara benda mati dan benda hidupnya. Itu sangat terasa di sini, Belanda. Kebiasaan warga bersepeda diakomodasi dalam bentuk fietspad (fied = sepeda, spad = jalur, artinya jalur sepeda). Semua daerah terhubung dari kota ke kota, kota ke desa, hingga desa ke desa. semuanya terhubung oleh fietspad ini. Biasanya berwarna merah seperti red carpet begitulah. Ada jalur khusus yang memang diperuntukkan untuk sepeda ini. Dan sepeda memang menjadi bagian dari kehidupan warga, bukan bagian dari rekreasi saja. Jadi bersepeda dengan sepeda jadul, bukan mahal, ya biasa saja di sini. Tempat sampah juga dibuat khusus di sepanjang jalur sepeda ini. Berupa kerucut yang dipasang di pinggir jalan dan miring. Sehingga dikala ingin membuang sampah, pesepeda tinggal melempar saja seperti melempar bola basket ke keranjangnya. Itu semua diakomodir di dalam kota. Ada kebiasaan warga yang kemudian di tuangkan dalam bentuk desain kota. Hanya contoh saja yang saya dokumentasikan menggunakan GoPro di bawah ini. Lagi-lagi proses, bagaimana masyarakat berperilaku kemudian ruang kota mengikutinya.
Saya rasa di Solopun begitu, di sudut-sudut kota ada patung-patung dan ornamen-ornamen khas jawa yang menunjukkan jawa tempo dulu. Kalau tidak salah dulu pernah dicanangkan bahwa solo masa depan adalah solo masa lalu. Jadi memang ada proses revitalisasi kota yang diejawantahkan dalam bentuk ruang-ruang kota, termasuk sepur kluthuk Jaladara yang sekarang menjadi atraksi wisata. Lagi-lagi itu adalah warisan masa lalu yang kemudian dilestarikan dan justru dikembangkan menjadi varian atraksi kota baru, wisata. Mungkin begitu ranah pencarian makna kota dari suatu proses yang tidak bisa dijelaskan menggunakan angka dan statistik. Lagi-lagi mungkin, kebetulan saya selalu bicara kota dari kumpulan angka. Jadi silakan dikoreksi kalau ada keliru.