Hari minggu di kampus, adaptasi Omicron

Omicron di Belanda semakin mengganas, tidak seperti di Indonesia yang lebih terkendali. Negeri merah putih lebih baik, saya rasa. Lihat saja perbandingannya di google. Sudah berapa kali gelombang covid terjadi, dan sekarang terus memuncak. Di Indonesia melandai, datar-datar saja. Karena itu maka penyesuaian diri sepertinya bukan lagi negoisasi. Bekerja di rumah (apartemen) rasanya kurang pas, berjalan sekian meter sudah ketemu dapur, sekian meter lagi kamar mandi. Hanya muter-muter di ‘kubus’ ukuran tidak besar. Keluar rumah menyapa matahari meskipun suhu sekitar 1°C itu jauh lebih baik dibandingkan di dalam ruangan.

Bekerja di kampus bukan pilihan yang tepat juga saat ini. Tidak sedikit teman yang sudah terinfeksi Omicron dan konsekuensinya: karantina mandiri sekeluarga. Tidak bisa pergi kemana-mana, di dalam rumah saja. Situasi yang benar-benar kurang bersahabat. Bekerja di rumah terus terlalu jenuh, sementara kalo ke kampus bakal ketemu banyak kerumunan. Maka berstrategi atasnya sepertinya harus dilakukan.

Ke kampus siang/ sore, kemudian bekerja hingga malam bisa sampai jam 21.00 atau jam 22.30. Untung gerbang kampus belum ditutup hingga jam itu. Tepat disebalah gedung ada sport center yang buka hingga jam 00.00, mungkin itu yang menjadi alasan kenapa kampus planologi bisa buka lebih lama dibandingkan dengan gedung lainnya, meski di universitas yang sama. Kerja malam memang kurang menguntungkan, sendiri paling hanya ngobrol dengan beberapa dari mereka yang lembur atau memilih cara yang sama. Kemarin ketemu dosen yang konsen di land subsidence, dia lembur entah untuk pekerjaan apa. Dikala mau pulang, dia melihat lampu di ruang kerja saya masih menyala akhirnya ketuk pintu dan ngobrol. Lumayan, bisa ngobrol panjang x lebar x tinggi hingga 30 menit sambil berdiri tepat di pintu ruangan. Dia paham betul land subsidence di Indonesia, keren banget.

Selain kerja malam, strategi kedua adalah bekerja di weekend yaitu sabtu dan minggu untuk menggantikan hari senin dan juga selasa. Dikala yang lain santai di rumah, saya ambil sepeda dan menuju perpustakaan. Tidak terlalu sepi sebenarnya, tetapi setidaknya tidak terlalu ramai dibandingkan hari kerja. Lumayan, bisa bekerja meskipun di hari yang tidak seharusnya. Tujuannya sama: menghindari kerumunan.

Bekerja di perpustakaan memang tidak membosankan. Sangat tidak membosankan. Cerita lain bekerja di perpustakaan juga saya tulis di sini. Selain buku, ada beberapa fasilitas yang humanis banget. Dari tempat sampah yang begitu banyak di sudut ruangan hingga kursi sofa dan kursi tidur berbentuk seperti helm astronot. Bagi yang pegal karena terlalu banyak duduk, disediakan juga kursi pijat. Dan bagi yang tidak bisa berfikir karena kurang kadar caffein dalam darah, tinggal naik tangga saja menuju lantai 3 dan order. Di situ juga ada snack-snack ala kadarnya seperti roti dan leys. Mau ngeprint? – tempelkan saja kartu mahasiswa dimanapun kamu menemukan printer dan pencet saja print. Tentu sebelumnya perintahkan print dulu dari komputer. Mudah sekali. Perpustakaan sebesar ini, paling hanya dijaga oleh 2 petugas (khusus hari minggu). Kalau di hari kerja biasanya lebih banyak karena helpdesk juga berada di sini.