Jangan hanya berfikir bahwa menulis artikel itu dengan memanfaatkan keyboard komputer. Mengetik setiap huruf menjadi kalimat, kemudian disusun ke dalam paragraf. Tidak hanya itu, tetapi bisa juga hanya dengan scroll up dan scroll down menggunakan mouse. Naik, turun berharap jumlah halaman bertambah. Dan kenyataannya tetap berada di halaman yang sama. Mungkin hanya berpindah saja kalimat yang tadinya di baris bawah menjadi baris atas dan seterusnya. Rasanya butuh energi super besar untuk mengeluarkan ide-ide bombastis dari otak terdalam untuk menjadi provocative sentence, dan berharap bisa mengubah cara pandang seluruh pembaca di dunia ini. Jurnal Q11 dan Q12 bukan menjadi standar lagi, tetapi lebih kepada memberikan perspektif baru yang benar-benar berbeda. Utopia sekali! Itu hanya guyonan saja, tidak mungkin sekolah baru kemarin.
Meskipun data sudah teranalisis, beberapa materi tulisan juga bisa diambil dari proposal, namun kenyataannya masih membutuhkan dorongan lain untuk menggerakkan jemari dan otak agar bisa kerjasama. Rasanya otak, hati dan jemari memiliki otoritas sendiri-sendiri, mereka tidak mau bekerjasama dalam satu tujuan yaitu menulis. Otak inginnya bermimpi di atas kasur sambil menikmati lagu-lagu dengan beat keras, hati rasanya terus menarik untuk menjauhi laptop dan komputer, sedangkan jemari sepertinya mengajak untuk memegang tripod dan kamera. Mereka tidak sinkron, tidak mau bekerja sama saat ini. Wah, ada-ada saja. Lebih dari 5 jam di depan komputer perpus, dan hanya melakukan copy – paste grafik dan gambar peta dari JPEG ke dalam dokumen word. Sedangkan deadline sudah berada di depan mata. Selasa harus presentasi dengan para punggawa Nipon, negeri matahari terbit. Tetapi, 3 organ tubuh itu belum mau bekerjasama.
Headset akhirnya diraih, koneksikan dengan handphone dan spotify bernyanyi. Bukan Ms word ataupun RStudio lagi yang dihadapan melainkan wordpress.com alias ngeblog. Salah satu kolega pernah bercerita, karena perfeksionis, menginginkan kesempurnaan di awal, jadi malah nggak nulis-nulis. Itu bukan pernyataan saya, tetapi beliau yang selama ini menjadi mentor virtual. Kalau saya sendiri mungkin memang lagi seneng scroll up dan scroll down saja sambil menghabiskan kopi kapal api yang sengaja dibawa dari apartemen ke meja kerja.
One thought on “Scroll up – scroll down, motorik lain saat menulis”
Comments are closed.