Spatial queries, dibalik manipulasi data spasial

Bersama Dr. Anang W Sejati, sudah pasti bisa ditebak apa yang diobrolkan: remote sensing, spatial queries dan big data. Tebakan itu tidak salah, ada satu lagi yang baru yaitu SNAP dari ESA (European Space Agency). Penggila open source dan juga open data. Satu batang beda dahan saja, dia lebih ke remote sensing dan GIS sedangkan saya ke spatial data science dan GIS. Masih berada di pot yang sama yaitu GIS, teknologi parut yang saat ini terus berkembang, terus berevolusi dan tidak lagi ‘hanya’ urusan peta, lebih dari itu. Sekali lagi, teknologi ini bukan eksklusif, hanya digunakan oleh mereka yang berkecimpung dengan dunia peta. Kolega yang lulusan S1, S2 (S2 lagi) kemudian S3 kedokteran gigi juga menggunakan software serupa (baca di sini). Jadi bisa dibayangkan bagaimana dia berpraktek, pegang alat tambal gigi sekaligus mengaporasikan GIS. Mungkin saja, itu hanya imaginasi liar saya saja yang hanya utak-atik gatuk. Tapi setidaknya poinnya adalah GIS sudah menjadi software yang umum baik untuk dunia engineering, social science, hingga medical science.

Kembali ke obrolan kami, mencoba mencari alternatif untuk ‘memanipulasi’ data spatial. Apa yang harus dilakukan? Adakah platform di luar sana yang bisa digunakan? ataukah mungkin ada jalan pintas yang bisa ditempuh untuk memperingan pekerjaan? Saya harus kalkulasi data yang tidak sedikit (baca di sini), lumayan beresiko dikala gagal eksekusi. Terutama investasi waktu yang tidak sebentar. Dan karena pengalaman di open data sudah lama, pasti ada jalan. Ngobrol aja dulu, pasti ada jalan. Kurang lebih begitu.

Mengaku beginner di dunia spatial data science tapi artikelnya sudah malang melintang di jurnal internasional bereputasi (baca di sini, dan di sini). Riset-risetnya di dunia remote sensing tidak terlepas dari memang hobi dan juga mewahnya open data saat ini. Mau landsat, sentinel 2, sentinel 1 atau mungkin DEM, semuanya tersedia gratis di internet. USGS dan ESA menjadi supermarket open data yang menyediakan begitu banyak citra satelit. Dan itu bidangnya, bukan saya. Meskipun riset saya juga menggunakan remote sensing tetapi belum secanggih dia.

Diskusi tidak berhenti di sumber-sumber data yang bisa diakses, tetapi juga merambah ke produksi data. Sebelumnya saya menulis bahwa butuh data bertingkat dalam studi perkotaan ke depan (baca di sini), dan saya semakin meyakini itu. Tidak bisa hanya mengandalkan secarik kertas berjudul form kuesioner atau form wawancara. Dan kami menyepakati itu. Bahkan kolega dari psikologi ada yang menggunakan face recognition untuk menilai tingkat emosi seseorang. Mereka terus mengarah ke dunia engineering dan artificial intelligence. Dan tentu dunia tata kota juga akan ikut di jalur yang sama. Kalau Bill Gates mengatakan: “If your business is not on the internet, then your business will be out of business”. Sedikit diplesetkan, dikala internet itu kita lihat dari kacamata lebih besar ‘teknologi’, maka disitulah arah kita berjalan. Dimana tidak sedikit yang mengatakan bahwa: applied research adalah parut. Ya.. itulah opini yang akan terus berkembang dan tidak akan pernah menyusut kecuali dengan cara memahami, dimana itu semua membutuhkan waktu. Memahami itu memiliki satuan waktu.