Apa yang sudah dipelajari harus diuji. Salah satu caranya adalah dengan diskusi dan debat. Salah satu dampak yang sering dianggap negatif adalah perbedaan sudut pandang, kemudian mengaburkan tujuan dan pada akhirnya sulit menentukan arah. Bahasa kekiniannya adalah galau. ‘Apa yang sudah saya pelajari mengantarkan saya pada satu keyakinan seperti ini, tapi apa yang dia sampaikan rasanya juga benar‘ – kurang lebih begitu bahasa hati. Ada berbagai sudut pandang yang mendukung tetapi tidak sedikit pula yang justru berbeda dan cenderung mematahkan. Terkadang juga ada judgment: ‘jangan-jangan yang kamu pikirkan terlalu kompleks, terlalu luas dan tidak operasional’. Atau bisa juga ada pernyataan underestimate seperti ini: ini ada artikel yang hanya menggunakan statistic descriptif tetapi diterbitkan di jurnal Q1, ah sepele sekali. Dikala kita hanya melihat luarnya, pernyataan-pernyataan itu sah-sah saja, tetapi bagaimana proses mencapai hal yang dianggap sepele itu.
Diskusi dan berdebat menjadi alternatif untuk mempertajam dan juga framing ide. Kalau mempertajam analisis saya rasa itu sudah jelas. Dikala bisa menjawab secara substansional atas pertanyaan selama diskusi, tentu itu akan mempertajam analisis baik secara literasi maupun argumentasi verbal. Terkadang bergantung bagaimana kita meletakkan lidah juga sebenarnya. Namun yang tidak kalah penting adalah framing ide, terutama dikala ingin menulis. Framing itu sesuatu yang sangat penting selain alur ide dan substansi yang akan kita berikan. Dikala risetnya bagus dan menemukan sesuatu yang unik, namun tidak bisa menjelaskan ke publik, itu juga menjadi masalah. Framing menjadi salah satu upaya untuk bisa menjelaskan itu.
Sama dengan fotografi sebenarnya. Ada literatur lawas fotografi (yang maaf masih saya cari sumbernya) menuliskan bahwa ada 3 elemen kunci yang harus dipelajari yaitu: frame, angle dan moment. Di dalam riset, saya rasa itu bisa juga menjadi alternatif untuk membidikkan lensa kita ke suatu isu kemudian melaporkannya dalam bentuk artikel. Saya hanya akan menjelaskan frame saja atau bingkai, bagaimana kita akan membingkai laporan riset (artikel) kita? Bayangkan saja bahwa frame itu berbentuk kotak untuk menampilkan suatu gambar (lihat di bawah ini). Saya mengilustrasikannya dalam kotak 1, 2, 3, 4. Ada 4 frame di situ dengan komposisi obyek foto yang berbeda-beda. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah: anda ingin mengatakan apa melalui foto itu? Jika jawaban anda adalah: saya ingin menampilkan gambar kincir angin saja (molen) maka bisa kita pilih frame nomor 2. Namun dikala jawabannya adalah: saya ingin menampilkan kereta dorong saja maka bisa kita pilih frame nomor 3. Itu adalah framing, bagaimana kita memilih komposisi obyek di fotografi untuk kemudian disampaikan kepada viewers. Foto sebenarnya adalah media informasi agar yang melihat bisa memiliki persepsi.

Baik sekarang kita coba pecah foto di atas menjadi gambar lebih kecil menurut framenya (di bawah ini). Saya pisahkan gambar berdasarkan nomor frame: 1, 2, 3, 4. Kita coba test, dikala viewers melihat foto dengan frame nomor 2 kemudian dia melihat foto di frame nomor 3, apakah akan memiliki persepsi yang sama atas foto itu? Atau paling gampang diminta menjawab pertanyaan: ceritakan gambar itu? sudah bisa dipastikan mereka akan memiliki ragam cerita yang berbeda meskipun dari sumber yang sama. Kenapa? karena frame yang kita berikan berbeda. Saya rasa itu fungsi dari framing untuk foto, sekarang kita coba terapkan di laporan riset, termasuk artikel.




Di saat S1, saya pernah mendapatkan arahan dari Dr. Fadjar H Mardiansyah, kurang lebih begini statementnya: tulislah apa yang kamu mau, bukan tulis apa yang kamu tahu. Saya setuju dengan statement itu. ‘Tulis apa yang kamu mau‘ merujuk pada tujuan atau pesan apa yang ingin disampaikan untuk keseluruhan artikel hingga bagian-bagiannya yang di tulis dalam bentuk paragraf. Dan bukan menulis apa yang kamu tahu karena terlalu banyak, terlalu luas dan tugas kita harus memilih dari luas/ banyaknya materi yang kita tahu. Saya rasa itu menjadi statement yang saya ingat terus hingga sekarang. Framing adalah upaya kita untuk membingkai ide dan juga pesan. Sekarang apa fungsi debat?
Debat dan argumentasi di dalam diskusi riset itu penting banget. Lebih penting daripada membaca artikel (menurut saya). Membaca dan mengolah data itu akan mengikuti apa yang tidak kita tahu untuk selanjutnya kita cari. Puzzle-puzzle yang tidak kita tahu itu bisa kita identifikasi dari diskusi dan juga debat. Maka rasanya boleh kita berargumen bahwa debat itu berfungsi untuk mencari puzzle-puzzle yang bolong tadi. Kemudian tujuan kedua adalah untuk mencari frame yang tepat. Kita coba berikan gambar di atas ke 5 orang untuk menjawab: frame mana yang menggambarkan lingkungan rapi? Apakah mungkin akan dipilih frame no 4? – tes saja, saya sendiri juga tidak tau. Kurang lebih begitu fungsi debat dan diskusi substantif bukan eyel-eyelan bak mau baku hantam. Ada alasan yang melandasi pilihan frame itu, dan bukankah alasan itu bisa menjadi background di artikel? Semakin banyak masukan, semakin banyak sudut pandang akan memudahkan kita untuk menentukan framing itu. Rasanya perlu mengingat pernyataan Larry McEnerney 7 tahun lalu yang mengatakan: [do you think that] writing is communicating your ideas to your readers? – No, it is not, professional writing is [about] changing their ideas (baca di sini). Lagi-lagi, diskusi (dan debat) adalah salah satu wadah untuk mencari frame tadi sebelum kita ‘serahkan’ ke pembaca. Pengambil keputusan frame tentu bukanlah forum tetapi penulis artikel itu. Dan itu yang sedang kita lakukan! – Goed, bismillah!
You must be logged in to post a comment.