Melanjutkan cerita bekerja di Bibliotheek Cuijk (baca di sini), dikala tidak bisa ke kampus cukup nongkrong di sini, meja perpustakaan pemerintah daerah. Nyaman sekali, selain bisa bekerja juga bisa membawa bekal makanan dan kalau ada recehan 1 euro bisa juga membeli kopi di dalam. Ada coffee maker di sudut ruang baca. Bisa memilih capuccino, espresso, berbagai coklat, atau cukup air panas. Tersedia untuk umum dengan membayar 1 euro tadi. Kalau di rupiahkan jelas di atas Rp. 15.000,-. Namun membandingkan dengan kurs Indonesia rasanya kurang bijak karena memang standar harga di sini harus disesuaikan dengan kurs setempat.
Di balik belum robustnya model regresi multinomial yang dari bulan lalu terus saya olah, saya sempatkan menulis pengalaman ini. Catatan saya pribadi, seorang pelajar yang memang sedang belajar. Kopi dan statistik, judulnya begitu. Rasanya kombinasi cukup apik bagi saya. Mungkin kadar kafein dalam darah saya sudah melebihi kadar lemak darahnya. Hampir tiap hari, secangkir kopi selalu berada di sisi sebelah kiri laptop, sedangkan sebelah kanannya ada makanan yang saya bawa dari apartemen. Masak sendiri, dibawa ke tempat kerja, dan makan sendiri. Tidak ada larangan untuk membawa makanan ke dalam ruang kerja, perpustakaan. Tidak hanya di sini (Bibliotheek Cuijk), juga berlaku di bibliotheek kampus. Kita bisa makan di dalamnya sambil membaca buku atau mengerjakan tugas kampus. Boleh, asalkan tidak meninggalkan kotoran.

Butuh jeda berfikir. Untuk mengisi jeda itu kita bisa melakukan aktivitas pendek seperti menghisap rokok atau cukup memutar pulpen di jemari kita. Bagi cewek, ada juga yang bermain rambut, dipelintir kemudian diluruskan kembali. Itu aktivitas-aktivitas pendek selama proses belajar dimana organ otak lebih banyak bekerja. Saya yang tidak merokok memilih kopi menjadi teman berfikir, selalu berada di sebelah laptop. Dan dikala membutuhkan refresing lebih lama maka cukup nge-blog atau duduk di pinggir sungai sambil melihat kapal lalu lalang menuju Jerman. Terkadang di ujung jalan ada oma-oma menjual roti bakar (toastie) isi daging, coklat atau cukup dengan keju. Dengan ramah, Oma-oma ini selalu bertanya mengenai kabar, mengenai apa yang ingin dipesan dan tanya hal-hal lain layaknya orang Indonesia. Mirip sekali dengan budaya kita, Indonesia. Bertanya dan ngobrol itu adalah bagian dari ramah-tamah. Jadi jangan kaget dikala bertemu orang baru Belanda, dan mereka langsung bisa bertanya banyak hal begitu ramah, begitu positif dan tidak memberikan guyonan-guyonan yang relatif sarkas. Tidak ada, atau jarang sekali ditemukan.
Sama halnya dengan di perpustakaan. Mereka melayani seperti petugas toko buku yang menyapa dengan 3S-nya (senyum, sapa, salam). Cukup professional, mau pinjam atau mengembalikan buku dipastikan ada petugasnya. Sangat jarang kita menemukan petugas yang hanya baca koran, ngobrol nggosip dengan teman kerja mereka. Standby di tempat kerja. Namun bukan berarti mereka diam. Tidak, mereka tetap ngobrol untuk mengisi waktu sambil bekerja. Sesekali menata buku dan mainan anak-anak di ruang baca dan bermain anak. Meskipun rada jarang, tetapi kadang juga ada event Talks, semacam podcast tetapi offline. Pernah suatu kali mengangkat tema Indonesia, judulnya saja beta siapa? orang-orang Maluku yang bermigrasi ke sini di masa kolonialisme dulu.
Bagaimana dengan statistik? Dari tadi hanya cerita kehidupan perpustakaan tetapi tidak dengan statistik. Masih stuck dengan ratusan data yang sebelumnya saya screening dari 1,9 juta data. Seneng rasanya dikala menulis satu koma sembilan juta data. Rasanya mustahil waktu itu, tetapi alhamdulillah bisa juga. Dari jutaan data itu akhirnya didapatkan 210 data saja yang kemudian menjadi unit analisis. Dan stuck-nya itu di sini, mengolah 210 data. Banyak masalah dengan data-data di Indonesia yang kebetulan dikeluarkan oleh instansi berplat merah. Kata scientific-nya adalah tidak reliable, bahkan terkadang tidak valid. Contohnya begini ada rumah yang dijual dengan harga Rp 5.000,-. Rasanya sama dengan harga mie ayam atau bakso di Semarang ini. Apakah betul begitu? tentu saja tidak, sama sekali tidak. Kesalahan ke dua yang ditemukan adalah notasi blok yang setelah ditelisik ternyata bukan zonasi rumah melainkan tambak. Tidak ada rumah atau bangunan di situ. Itu yang kemudian harus dilakukan proses pembersihan (cleaning). Setiap menemuhi ‘batu-batu’ sandungan itu, kita menghela nafas dalam-dalam kemudian kopi di raih. Satu teguk = satu batu kerikil menyandung. Jadi rasanya tidak terlalu menghayal (saya rasa) dikala kualitas data yang dikeluarkan oleh instansi menjadi salah satu indikator good governance (baca di sini).
You must be logged in to post a comment.