Storytelling, merangkai kekuatan kata

Hanya mengutip! “kita harus masuk Islam secara kaffah, tidak boleh separo-separo, ibarat pohon mangga: akarnya mangga, batangnya mangga, buahnya pasti mangga”. Itu adalah contoh doktrin bagaimana para petinggi NII melakukan recruitment anggota baru. Video lengkapnya saya sajikan di youtube di bawah ini, tepatnya di menit 33 dikala mantan petinggi NII menjelaskan bagaimana dia membandingkan hukum Islam dengan hukum KUHP. Dan tujuan tulisan ini bukanlah membahas ideologi itu. Bukan kapasitas saya mengulas apalagi menjelaskannya. Dari sudut sedikit berbeda, itu sebenarnya bisa juga kita lihat dari kemampuan storytelling yang kemudian mereka manfaatkan untuk merekrut anggota-anggota baru. Kekuatan rangkaian kata menjadi sebuah kalimat, kemudian mengkonstruksi paragraf dan pada akhirnya cerita. Itu adalah point dari tulisan ini saya buat, pentingnya storrytelling. Wikipedia menjelaskan storytelling sebagai aktivitas sosial untuk menjelaskan cerita, terkadang dengan improvisasi atau teatrikal. Saya sendiri lebih menganggap storrytelling sebagai cerita sesuatu dari sudut pandang baru.

Sudut pandang baru itu saya rasakan dikala ngaji bersama tokoh-tokoh hebat di reducate.com. Saya menulis ngaji karena materi yang mereka berikan lebih pada kajian-kajian agama Islam, dimana kata ngaji itu lebih lekat dengan proses belajar agama. Riset saya tentang banjir ternyata mengantarkan kepoisme saya pada studi Islam. Meskipun masih dangkal pengetahuan saya, tetapi kenyataannya berbagai literatur mengkaitkan antara persepsi risiko dengan pemahaman tentang Islam. Persepsi risiko itu yang kemudian menjadi pengkait antara kajian Islam dengan riset yang sedang saya kerjakan. Persepsi, lebih tepatnya adalah bagaimana masyarakat menilai suatu obyek barang ternyata akan berpengaruh terhadap nilai ekspektasi dan pada akhirnya berpengaruh pada harga barang. Dan lagi, ada landasan agama yang mengkonstruksi mereka membuat penilaian. Itulah yang mengantarkan saya ikut dan terus memilih tema-tema yang ada kaitannya dengan riset.

Kali ini, topik yang diberikan adalah Tafsir perspektif keadilan hakiki perempuan yang disampaikan oleh Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm seorang dosen ilmu tafsir dan Al-Quran) memberikan sudut pandang baru yang cukup menarik. Saya akan mengutip jawaban beliau atas pertanyaan saya: apakah ada proses kognitif yang berbeda antara perempuan dan pria dalam memahami sesuatu menurut tafsir Al-Quran? Pertanyaan itu saya ajukan karena hampir setiap saya membaca artikel yang membahas risk perception selalu dikaitkan dengan jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Kalau laki-laki berpandangan seperti ini, sedangkan perempuan berpandangan seperti itu. Kurang lebih begitu pesan yang ingin diberikan oleh setiap artikel. Beberapa saya temukan baik dari literatur barat maupun di Asia, termasuk Indonesia. Yang cukup berbeda adalah dikala literatur yang didapatkan dari Indonesia, sering mengkaitkannya dengan pandangan religi, terutama Islam. Itu yang menjadi landasan atas pertanyaan yang diajukan, kemudian bagaimana keadilan hakiki perempuan menurut tafsir Al-Quran memandangnya? Jawaban yang cukup menarik, kurang lebih begini: secara kodrat laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu memiliki indra dan juga otak untuk berfikir. Namun terkadang konstruksi sosial di lingkungan sekitar memposisikan laki-laki dan perempuan berbeda, sehingga terjadilah perbedaan itu.

Bagi saya ini sangat menarik, memberikan sudut pandang yang benar-benar baru bagi saya. Sekali lagi ini bagi saya pribadi. Laki-laki dan perempuan adalah serupa dan sejajar di mata Allah, yang membedakan adalah taqwanya. Kurang lebih begitu pesan yang ingin diberikan. Sudut pandang baru yang beliau pijakkan dari pemahamannya dari membaca kemudian mentafsirkan Al-Qur’an. Ada pencerahan baru dari penjelasan religi berdasarkan Qur’an yang dikemas dalam sudut pandang dan storrytelling yang begitu menarik. Silakan bisa di lihat disimak melalui video youtube di bawah ini.

Kembali ke judul: storrytelling. Ada kemasan baru dari ‘produk ide’ yang mungkin sudah ada sebelumnya memberikan suatu perspektif yang anyar kemudian mengkonstruksi pengetahuan/ pemahaman baru. Jadi ingat tulisan sebelumnya bahwa menulis professional itu bukanlah untuk menceritakan tetapi mengubah cara pandang pembaca (baca di sini). Ada perubahan cara memahami sesuatu. Apakah ini adalah sesuatu yang sederhana? Tidak, sama sekali tidak. Ada konsekuensi pro dan kontra, bahkan bisa juga positif dan negatif. Apa yang saya contohkan di atas dengan ikut ngaji adalah contoh positif. Saya mendapatkan pemahaman baru atas konstruksi pengetahuan masyarakat yang ternyata berbeda antara perempuan dan laki-laki meskipun menurut Al-Qur’an dikodratkan memiliki ‘instrumen’ yang sama. Contoh lain yang saya tulis di paragraf pertama, itu adalah konsekuensi negatif. Karena terbuai oleh storrytelling dan lebih ke doktrin akhirnya terjerumuslah ke persoalan ‘ideologi baru’. Konsekuensi lain yang mungkin masih hangat diingatan kita adalah hampir disomasinya Pandji Pragiwaksono karena meteri stand up comedy-nya yang menyinggung komunitas pecinta kucing (baca di sini). Storrytelling yang bagus sepertinya harus menerima beberapa risiko itu. Kenapa bisa seperti itu? Rasanya ada perbedaan pemahaman antara pemberi dan penerima. Perbedaan ini bisa disebabkan dari sisi pemberi yang kurang pas memilih kata atau penerima yang memiliki sudut pandang berbeda. Kemudian apa yang harus dilakukan? Harusnya ya disesuaikan saja frekuensinya melalui diskusi.

One thought on “Storytelling, merangkai kekuatan kata”

Comments are closed.