Peran kampus? Belajar di luar kelas, alternatif tapi pasti

Melanjutkan cerita mengenai peran kampus (baca di sini), rasanya pendidikan alternatif luar kampus semakin pasti. Meskipun masih dalam kategori alternatif, nyatanya banyak yang mulai bergantung padanya. Bukan hanya belajar coding yang saat ini memang menjadi kebutuhan baru di berbagai lini studi. Sebagai informasi saja, teman saya, seorang psikolog juga belajar face recognition untuk mempelajari micro emotion berdasarkan kontur wajah yang harus dia kuasai dari luar ruang kerjanya. Artinya dia tidak bisa bergantung hanya pada ruang kelas dimana dia bekerja saat ini. Ini juga yang menjadikan teknologi informasi bukan lagi exclusive, hanya dipelajari para computer programmer. Sama persis dengan cerita mengenai peta yang mulai merambah di dunia kesehatan (baca di sini).

Menjalarnya disiplin ilmu lain dan kemudian bergabung menjadi tools yang dianggap baru, akhirnya menjadi keniscayaan. Tidak bisa lagi menyiapkan materi yang seabreg itu ke dalam struktur kurikulum. Maksudnya begini, apakah kolega dokter gigi yang menggunakan GIS untuk risetnya kemudian harus menyajikan matakuliah khusus peta di kampusnya? – ataukah cukup membiarkan mahasiswa kedokteran untuk belajar dari program studi lain. Bisa juga membiarkan mereka belajar dari internet secara otodidak. Lagi-lagi, sumber ilmu tidak lagi eksklusive yang dibatasi oleh tembok-tembok kelas dimana kita berasal. Apakah itu yang menjadi salah satu inspirasi program kampus merdeka saat ini? – Tolong beritahu saya mengenai ini, jika berkaitan.

Ada perubahan di sini yang sudah sering sekali dibahas oleh banyak pakar. Di bukunya yang berjudul: Disruption, Prof Rhenald Kasali menceritakan bagaimana Nokia harus menerima ‘nasibnya’, kurang lebih Stephen Elop dari Nokia mengatakan begini: ‘kami tidak melakukan kesalahan apa-apa; tiba-tiba kalah dan punah’. Ada di bukunya. Ada perubahan yang berasal dari ‘luar’ yang kemudian mempengaruhi minat.

Pendidikan luar kampus

Kembali ke contoh teman yang harus belajar face recognition dari luar kelasnya. Itu sebenarnya indikasi bahwa sumber ilmu bukan hanya dari dalam ruang kampusnya melainkan meminjam ilmu lain yang kemudian dibawa ke lingkupnya. Import ilmu dari luar ke dalam lingkup pekerjaannya, apakah bisa juga dipahami seperti ini? Keterbukaan menjadi keniscayaan saat ini. Terbuka untuk mengatakan: saya membutuhkan ilmu itu, dan saya akan belajar dari ruang kerja anda. Sama halnya dikala kita mengerjakan pekerjaan bidang planologi namun meminjam spatial data science sebagai alat utamanya. Ini mungkin tidak akan kita dapatkan dari disiplin ilmu kita saat ini.

Belajar dari luar kampus, lagi-lagi adalah alternatif dan bukan satu-satunya sumber. Sekarang kita akan dihadapkan pada persimpangan, apakah (1) akan mencampur ilmu dari luar ke dalam ilmu kita, ataukah (2) memperkuat ilmu fundamental kita di dalam kemudian cukup meminjam saja. Saya rasa itu akan menjadi kecenderungan yang tidak bisa dihindarkan ke depan. Sebagai contoh, kolega dokter gigi yang menggunakan GIS untuk risetnya, apakah mungkin akan memasukkan ilmu SIG di dalam kurikulum kedokteran giginya? – ataukah cukup memperkuat ilmu fundamentalnya dan kemudian membiarkan mahasiswa yang ingin mempelajari GIS untuk belajar dari tempat lain. Lagi-lagi itu adalah alternatif. Itu adalah kondisi yang sedang kampus hadapi, saya rasa.