Mau minum apa Aa? Pengetahuan di warmindo

Mau minum apa Aa? Seru laki-laki paruh baya berdiri di samping saya. Sepertinya sudah lebih dari 2 kali, suara itu terdengar. Namun, saya tetap terpaku di screen handphone. Di warung indomie, dekat Oyo Permata Tawakal, Jakarta Barat, sekedar melepas lelah dan mengisi perut yang mulai kosong. Tidak menolehnya saya bukan hanya karena sedang terpaku di handphone namun juga karena tidak pernah dipanggil Aa, sewaktu di Jawa. Itu sebutan dari tanah Sunda, dan tentu telinga saya tidak familier. Setelah berulang kali, baru menoleh dan: ‘Oh maaf mas, kopi kapal api panas saja mas’.

Itu hanyalah ilustrasi bagaimana otak saya menangkap seruan kemudian bisa menjawab. Dan sepertinya, itupula yang selama ini saya pelajari di saat studi PhD. Membaca buku, artikel, olah data dan berdiskusi rasanya itu tidak cukup. Itu hanya cara kita untuk menginternalisasi ilmu pengetahuan kemudian mematangkannya. Mengendapkan apa yang sebelumnya dibaca, kemudian dipahami. Dikala kita paham suatu teori kemudian memaksakan diri untuk menulis maka yang terjadi adalah meresonansi semata. Sama halnya dikala seseorang mengatakan: ‘sate kambing di ujung jalan sana enak’, kemudian ketika ditanya bagaimana sate diujung jalan sana? Maka kemungkinan jawaban yang muncul adalah: ‘enak’. Alternatif yang lain bisa juga mengatakan: ‘tidak tahu, belum mencoba’. Namun lagi-lagi resonansi dari pernyataan orang lain itu akan terjadi.

Kembali ke bagaimana otak saya menyerap ilmu pengetahuan tadi. Proses yang berulang bukan hanya paham tetapi juga yakin. Sebagai contoh, menganalisis hubungan variabel A dan B, dikala kita lakukan test menggunakan korelasi dan hasilnya serupa dengan granger causality maka hati kita akan semakin yakin kalau itulah hasilnya. Variabel A dan B memiliki hubungan kausalitas. Lagi-lagi itu contoh. Sama halnya dikala kita mengetahui/ memahami sesuatu dari teori A kemudian ternyata juga dibahas di teori B, meskipun tidak sama persis maka itu akan memberikan keyakinan lebih besar.

Memahami itu memiliki satuan waktu dan juga kebiasaan. Kembali ilustrasi di atas, paragraf 1. Meskipun saya tahu arti Aa (bahasa Sunda) adalah Mas/ Kakak, namun saya tidak langsung menangkap karena telinga dan otak saya tidak terlatih dengan kosakata itu. Dikala itu berulang kali didengar, saya yakin bakal otomatis paham. Sama halnya dengan teman-teman Indonesia yang sedang belajar di Belanda. Dikala mereka mau mengatakan tidak atau No (English) terkadang secara otomatis berucap: Nee (tidak dalam Bahasa Belanda). Ada kebiasaan yang kemudian membentuk pengetahuan.

Maka, saya rasa selain ada satuan waktu, pengetahuan dapat dibangun dari membiasakan tadi. Menjadikan kosakata yang awalnya jarang menjadi umum digunakan. Membaca buku, analisis data statistik, berdiskusi, presentasi bahkan berdebat mungkin itu hanyalah cara kita melakukan mining terhadap pengetahuan, kemudian biarkan ilmu yang didapat tadi mengendap dan paham.

Tidak jauh berbeda dengan itu, diskusi 2 minggu lalu dengan hari ini untuk topik yang sama bisa jadi akan mendapatkan insight berbeda. Apa yang akan kamu lakukan dikala variabel di statistikmu tidak signifikan di dalam pemodelan? – menghapus. Benar, tidak salah. Memang seperti itu. Namun akan berbeda dikala justru itu adalah masukan dan juga temuan. Variabel A di kasus X ternyata signifikan dan ternyata justru tidak signifikan di kasus Y. Dan itulah fungsi dari berdiskusi, melakukan penambangan ilmu pengetahuan dari partner diskusi.