Membangun sudut pandang: kota sebagai ‘barang dagangan’

Tulisan ini bercerita mengenai membangun sudut pandang, mencari angle yang sesuai kemudian kita bisa bercerita. Terinspirasi dari fotografi, dikala ada suatu obyek dibidik dari sudut yang beragam maka akan memberikan kesan dan bahkan pesan yang berbeda. Dari berbedanya kesan ini kemudian menimbulkan karya seni yang bisa dinikmati oleh komunitasnya. Foto abstrak, kita ambil contoh, mungkin bisa dinikmati oleh pecintanya namun bukan bagi yang beraliran lain. Ada segmentasi penikmat yang kemudian kita sebut sebagai komunitas. Kalau di riset, disebutnya komunitas periset, ilmuwan atau scientist.

Kembali ke sudut pandang. Prof. Eko Budihardjo pernah mengatakan di depan kelas, sekitar tahun 2008 disaat sekolah S2, kurang lebih begini: ‘terkadang kita perlu melihat dengan cara terbalik untuk bisa paham’. Tidak hanya mengatakan, beliau juga memperagakan, menundukkan kepala beliau, kemudian tangan menyentuh lantai dan benar-benar melihat belakang dari celah dua kakinya. ‘Memandang dengan cara terbalik’ – kemudian menemukan kesan berbeda. Dan rasanya itu tidak jauh dari bagaimana kita mengusung sebuah teori untuk menjelaskan persoalan di riset. ‘Memandang kota dari barang dagangan’, itu adalah insight yang saya alami saat belajar di sini, Belanda. Kita bahas pelan-pelan.

Bagaimana anda memandang sebuah kota? – bagi yang belajar urban design bisa jadi melihatnya dari pola jalan. Polanya lebih teratur dibandingkan yang di desa: organik. Teman-teman sosiologi mungkin juga akan memiliki pandangannya sendiri: tempat yang dihuni oleh sebagian besar orang bekerja bukan di sektor pertanian. Dan tentu masih banyak ragamnya. Dan itu yang selama ini saya pelajari sewaktu S1 hingga bekerja di sekolah yang sama. Itu adalah sudut pandang.

Sekarang, sudut pandang itu digeser ke arah ekonomi kota. Saya menyebutnya ‘kota adalah barang dagangan’. Ini adalah istilah saya sendiri yang terbangun dari perjalanan riset. Ada sudut pandang baru melihat kota bukan hanya sebagai tempat investasi, tempat para pekerja dan lain-lain. Melainkan menganggap kota sebagai barang dagangan itu sendiri. Apakah mungkin?. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kota bisa juga diistilahkan sebagai tempat bermukim (human settlement). Sebelum bermukim, ada yang membangun rumah dan menjualnya. Atau mungkin juga hanya membeli tanah kemudian membangunnya. Dan ini bukan hanya 1 atau 2 rumah, melainkan banyak untuk memenuhi kebutuhan para generasi baru yang dilahirkan juga menampung orang yang berpindah. Penjualan rumah inilah yang kemudian akan membentuk kota bahkan membentuk struktur ruangnya.

Teori hedonic menjelaskan bahwa keputusan membeli rumah itu tidak berbeda dengan keputusan membeli baju, mobil, dan sebagainya. Ada ‘kesenangan/ preferensi’ yang kemudian sering juga dikenal dengan ‘hedonic’. Meskipun akhir-akhir ini, kata hedon mengalami penyempitan makna yaitu: kehidupan mewah. Kembali ke rumah, keputusan seseorang membeli rumah dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: pertama, kualitas struktur rumah itu sendiri dimana jumlah lantai dan luasan adalah bagian darinya, kemudian kedua, kualitas lokasi. Termasuk didalamnya kedekatan ke rumah sakit, kedekatan ke sekolah dan sebagainya. Dan yang terakhir (ketiga) adalah kualitas lingkungan. Contohnya: view, kualitas udara, kualitas air bersih dan sebagainya. Kita akan fokus di lokasi saja untuk kemudian kita coba jelaskan ke ranah kota, sebagai sudut pandang baru.

Membeli rumah ternyata tidak hanya membeli kualitas bangunan dan lingkungan tetapi juga lokasi. Bahkan ada bukunya: location, location, location. Kemampuan orang membeli ‘lokasi’ sangat bergantung pada kemampuan ekonomi rumah tangga. Orang kaya bisa membeli rumah di lokasi premium, sisanya untuk berpenghasilan menengah dan rendah. Ini pula yang kemudian akan membentuk struktur dan juga pola ruang kota. Kemampuan daya beli yang berbeda akan menjadikan segregasi spasial, orang kaya akan meng-cluster di lokasi dan lingkungan premium, berbeda dengan yang berpenghasilan rendah. Ada klaster spasial, pengelompokan, yang mengindikasikan kelas pendapatan (ada juga yang menyebutnya kelas sosial). Akan membentuk grup-grup yang mencirikan siapa sih penghuninya. Dan itu ditentukan oleh: barang dagangan berupa rumah.